Tengah malam, Dewi Laksmi terbangun, baru saja bermimpi didatangi Zhan Shichai di bawah pohon kersen, menatap tajam ke dalam jendela kamarnya.
Tetapi begitu ia menyingkap korden jendela, tak terlihat siapa pun berdiri di bawah remang bayang pohon kersen itu. Cuma kelelawar-kelelawar berkerosak di dedaunan pohon kersen.
“Dia benar-benar datang,” kata Dewi Laksmi, masih menyingkap korden, memandangi pelataran, mengamati bawah pohon kersen.
Wisnu mendekat. Tepat di sisi Dewi Laksmi. “Siapa?”
“Bayangan Zhan Shichai. Dia menemaniku selama diundang menari di Fuzhou. Dialah yang mengatakan aku akan nikah dengan seseorang yang tak pernah kuduga,” balas Dewi Laksmi.
“Kami berada di Kuil Xichan ketika ia berpesan sebelum mati membakar diri, akan hadir lagi ke muka bumi dalam wujud bayi yang kulahirkan.”
“Kenapa tak kau lupakan saja omongannya?” Wisnu meninggalkan Dewi Laksmi, dan kembali tidur. Begitu mudah Wisnu lelap tidur. Ia mesti berangkat pagi-pagi benar ke bandara, dalam penerbangan pertama.
Dewi Laksmi masih menanti, barangkali sosok Zhan Shichai benar-benar muncul di bawah pohon kersen. Dewi Laksmi tak ingin tersiksa dengan omongan Zhan Shichai di Kuil Xichan bahwa lelaki itu akan menitis sebagai bayi yang dikandung dan dilahirkannya.
Ia tak pernah bisa melupakan Zhan Shichai. Sungguh sangat dirisaukannya, bila ia memiliki anak serupa Zhan Shichai. Ia ingin anaknya setampan dan segagah suaminya.
***
MALAM purnama menjelang pagi, Dewi Laksmi masih berdiri di depan jendela kamar, memandangi pohon kersen dan bunga-bunga melati yang bermekaran di pelataran rumah.
Ia gelisah tak dapat tidur. Dalam mimpi ia bersua Zhan Shichai, sebagaimana malam-malam sebelumnya. Ia berdiri menyingkap korden jendela kamar. Didengarnya kerosak kelelawar pada daun dan ranting pohon kersen.