Setengah Kebenaran

CERPEN S. PRASETYO UTOMO

Dalam ingatan Dewi Laksmi, ia melihat wajah Ayah yang tegang, menahan kemarahan, tak bisa berbuat apa pun. Ia memandangi Bunda meninggalkan rumah. Tak pernah kembali.

Akankah aku meninggalkan dunia menari dan kerja, setelah anak-anak lahir? Akankah aku meninggalkan suami dan anak-anak yang beranjak dewasa sebagai dendam terhadap masa silam yang mesti mengorbankan diri?

Berdiri menyingkap korden jendela, memandangi buah-buah kersen ranum berserakan diterjang kelelawar yang beterbangan menerjang dedaunan pohon itu. Kelelawar berkelebat dalam sisa cahaya bulan.
***
HAMPIR senja, tengah menyirami pohon-pohon bunga melati, Dewi Laksmi merasakan kesepian, yang bakal dijalaninya sepanjang malam.

Kedatangan malam – meski terang bulan – akan mengantarkan kecemasan-kecemasan mimpi dan bayang-bayang buruk silih-berganti. Kecemasan dan mimpi-mimpi yang mendebarkan yang tak pernah dialaminya sebelum ini, ketika ia belum menikah.

Dewi Laksmi selalu diganggu bayang-bayang kesedihan guru tarinya, Astini, dengan wajah pucat, setelah mendengar kabar pesawat yang diterbangkan suaminya menabrak lereng gunung, hancur, sebagai puing-puing berserakan.

Terdiam duduk di sanggar, terdengar lirih suara panggilannya, “Suamiku, suamiku, di mana kau?” Tubuhnya letih, kehilangan harapan, tersia-siakan.

Ketika sebuah mobil memasuki pelataran, berhenti di bawah pohon kersen, Dewi Laksmi tersentak. Ia tak percaya, ayah-ibu mertuanya datang pada senja yang temaram.

Mak Yah, pembantu mertuanya ikut serta, sudah keriput, tetapi masih kukuh tubuhnya. Mak Yah tampak berbinar sepasang matanya melihat kandungan Dewi Laksmi.

Lihat juga...