Memandangi cahaya purnama yang menimpa pula bunga-bunga melati lebih menenteramkan perasaan Dewi Laksmi.
Dewi Laksmi teringat akan guru tarinya, Astini, yang memiliki suami seorang pilot. Pada saat Astini hamil, suaminya menerbangkan pesawat yang menabrak puncak gunung, pecah menjadi puing-puing yang berserakan.
Jenazahnya tak pernah ditemukan. Berhari-hari Astini berdiam diri di sanggar tari. Tak berkata apa pun. Tatapannya jauh dan kosong. Dewi Laksmi belajar menari seorang diri, dengan lukisan besar Astini terpasang di dinding sanggar.
Cahaya bulan sudah mengabur. Tiba waktunya mengantar Wisnu ke bandara. Dewi Laksmi masih berdiri di depan jendela kaca, memandangi kelelawar yang merontokkan buah-buah kersen. Kenapa bayang-bayang masa silam yang buram bermunculan sergap-menyergap dalam benak?
Wisnu mendekap Dewi Laksmi dari belakang. Memeluknya. Mengusap-usap perutnya yang membuncit. Tubuh Wisnu segar. Baru saja mandi. Tercium harum parfum.
“Apalagi yang kau pikirkan?”
“Guru tariku. Suaminya seorang pilot, meninggal saat ia mengandung. Pesawat yang diterbangkan suaminya nabrak gunung. Tercerai-berai. Berserakan. Jenazahnya tak ditemukan.”
“Kau pikir, aku akan senasib dengannya?” suara Wisnu lembut. Ia merasa perlu banyak waktu untuk mendampingi istrinya: ingin mengusir bayang-bayang buruk yang berkelebatan dalam batin istrinya.
Ia tak pernah menghadapi kecemasan begitu tajam serupa ini sebelumnya.
“Tiap manusia membawa takdirnya sendiri. Berdoalah, semoga aku akan selalu selamat dalam tiap penerbangan. Aku akan mengasuh anak-anak kita sampai memiliki banyak cucu.”
Dewi Laksmi masih memandangi daun-daun kersen yang berguguran, terserak di pelataran. Bayang-bayang bulan kian pudar.