“Sepertinya manusia akan bergantung pada mesin.” Gumam Taroman sambil memandang Haji Ismail dengan perasaan tercabik-cabik.
Untung saja Taroman sudah punya banyak uang, sehingga laki-laki paruh baya itu sanggup melamar Markona. Tidak hanya itu, ia juga membeli dua petak sawah dan sepasang sapi yang akan digunakan membajak.
Kemampuan Taroman hanya sebatas pada kemahirannya bertani. Karena itulah, Taroman menggantungkan hidupnya dari hasil bertani.
Tangkel, anak Taroman itu menjadi sarjana lantaran laki-laki berperawakan agak bungkuk itu membiayai anaknya tersebut dari hasil bertani. Taroman sedih saat Tangkel memutuskan bekerja sebagai pegawai kantoran ketimbang memilih bertani.
Kesedihan itu semakin dalam karena Tangkel tak sedikit pun mau diajak ke sawah, apalagi sampai menginjakkan kaki di sawah.
“Aku sarjana. Tidak mungkin jadi petani. Apa kata orang, sarjana kok jadi petani. Bikin malu saja,” kata Tangkel dengan nada kesal. Itulah jawaban Tangkel setiap kali Taroman bertanya, apa dan mengapa Tangkel tak mau jadi petani. Taroman hanya mengelus dada.
Istrinya mengagetkan Taroman yang sedang teringat Haji Ismail juga anak lelakinya. Markona menghidangkan nasi putih di atas meja. Uapnya sangat harum. Beras pilihan. Beras hasil tani sendiri.
Taroman mengambil ikan asin. Ia sungguh menikmati masakan istrinya. Markona bisa dibilang perempuan yang pandai memasak. Bumbu-bumbu masakannya selalu terasa lezat di lidah.
Setelah menyelesaikan makan siang, pasangan suami istri itu duduk santai di teras rumah. Keduanya melihat rumah-rumah penduduk yang ditinggal penghuninya ke Jakarta.
Kehidupan di kampung Campoan memang mulai sepi. Ladang dan sawah membentang luas tak terurus, dibiarkan begitu saja seperti anak-anak kehilangan orangtuanya.
***
TAROMAN bersama istrinya sedang mencabut binis atau bibit padi ketika dua orang lelaki berpakaian rapi, bersepatu mengkilat berdiri tak jauh dari mereka. Binis-binis itu akan ditanam oleh Markona.