Ia berharap musim tanam kali ini menghasilkan buah padi yang melimpah. Markona memandang Taroman sambil menunjuk ke arah dua orang asing itu.
Taroman mengangkat kedua bahunya seraya menggelengkan kepala. Terlihat jelas dua lelaki itu bercakap-cakap. Salah satu di antara mereka menunjuk ke sawah milik Taroman.
Markona memberi isyarat kepada Taroman agar tak memberikan respon apa pun. Perempuan paruh baya itu khawatir sesuatu yang buruk akan menimpa suaminya.
Setelah hampir lima belas menit, dua lelaki itu menghampiri Taroman. Mereka mengangkat sepatunya pelan-pelan agar tidak kena lumpur sawah. Taroman bangkit dari duduknya mencabut binis. Ia menyambut dua orang itu dengan senyum was-was.
“Ada apa ya Pak? Bapak ini siapa?” Pertanyaan Taroman terdengar gugup. Markona berdiri di samping suaminya.
Kedua lelaki itu langsung saja menjelaskan bahwa kedatangannya semata-mata untuk membeli dua petak sawah Taroman. Jantung Taroman hampir lepas dari tangkainya mendengar maksud dan tujuan dua lelaki di hadapannya itu.
Markona menarik napas. Suami istri itu saling pandang. Menahan amarah.
“Sawah ini tak dijual. Dengan harga berapa pun dan sampai kapan pun.”
Taroman melanjutkan lagi, “Lagi pula, kami baru mau menanam padi. Kami hidup dari sawah ini. Anak kami jadi sarjana juga karena sawah ini. Tak mungkin kami jual. Percuma kami dibujuk dengan apapun.” Wajah Taroman menyala. Degup jantungnya semakin cepat.
“Disini akan dibangun bandara. Itu semua untuk rakyat. Semua tanah sudah dijual.” Dua orang lelaki itu menunjuk ke arah sawah milik Tarebung.
Taroman mengelus dada sekaligus mengucap istighfar melihat sawah Tarebung dijual begitu saja. Tidak pernah berpikir Tarebung akan nasib anak cucunya kelak. Hanya tinggal dua petak sawah Taroman yang menghalangi rencana mereka untuk membangun bandara.