“Untuk rakyat?” Taroman bertanya. Nadanya kesal. Dua lelaki itu mengangguk.
“Bandara untuk rakyat, tapi di lain sisi kau korbankan rakyat. Kami mau makan apa? Bila sawah kami digusur. “
Taroman berhenti sesaat, lalu melanjutkan lagi, “Negeri kita kekurangan beras. Itu semua karena lahan kami sudah digusur. Dimana kami mesti bertani? Apa bisa kamu bangun bandara tanpa perlu menggusur lahan pertanian kami? Bisa?”
Dua lelaki itu saling pandang. Mereka meninggalkan Taroman. Pamit pada suami istri itu dengan perasaan kecewa. Tidak pernah mereka menghadapi orang teguh pendiriannya seperti Taroman.
Dua lelaki itu pulang dengan hampa harapan. Taroman kembali ke tempatnya semula, duduk mencabut binis-binis yang akan ditanamnya besok.
Kurang lebih empat bulan, binis-binis itu sudah tumbuh menjadi padi yang ranum buahnya. Menunduk buah padi bagai seseorang yang menunjukkan keilmuannya semakin tinggi.
Begitulah ilmu padi yang diketahui Taroman. Tersenyum bahagia Taroman melihat bulir-bulir padi itu padat berisi.
Kesedihan menjalar dalam diri Taroman ketika mata lamurnya melihat sawah-sawah di sampingnya mati mengenaskan. Ajal telah menimpa tanah itu. Lebih sedih lagi, Taroman sudah tahu jika sawah-sawah itu telah dijual dengan harga berlipat-lipat.
Hanya ada dua petak sawah Taroman yang ditanami padi, sisanya adalah sawah-sawah penduduk kampung Campoan yang telah kering.
Usai Subuh, Taroman berjalan dengan istrinya ke sawah. Mereka berniat melihat padi di sawahnya, hanya untuk memastikan apakah sudah bisa dipanen atau belum. Akan tetapi, suami istri itu menghentikan langkahnya ketika melihat buldoser menggusur ratusan pohon padinya yang sedang berbuah.