Ajal Tanah Campoan

CERPEN ZAINUL MUTTAQIN

Taroman melihat padi-padi yang siap panen itu dihancurkan tanpa ampun oleh buldoser. Telinganya mendengar jerit tanah yang melengking, menahan sakit dari alat penggusur itu yang terus menerus mencabik-cabik.

Ratusan orang berseragam, berbadan besar menghalangi Taroman untuk menyelamatkan padi-padinya. Dengan tangis yang teriris-iris Taroman mengatakan bahwa dua petak sawah yang digusurnya itu adalah miliknya. Tak seorang pun para lelaki berseragam itu peduli dengan teriakan Taroman.

“Dimana kita mesti bertani?” Taroman bertanya kepada istrinya. Markona menggeleng. Keduanya berpelukan. Menangis bersama-sama. Dua petak sawah miliknya telah menemui ajalnya. Sebentar lagi, tanah itu akan disulap jadi bandara.

“Apa kita nanti yang akan naik pesawat itu?”

“Tidak mungkin. Kita butuh lahan pertanian. Bukan bandara. Mana mampu kita naik pesawat.”

Suami istri itu bercakap-cakap sambil menahan sakit di ulu hatinya. Sementara buldoser itu meraung-meraung, mencakar-cakar pohon-pohon padi millik Taroman yang siap panen. ***

Zainul Muttaqin, lahir di Garincang, Batang-batang Laok, Batang-Batang, Sumenep, Madura, 18 November 1991. Alumnus PP Annuqayah, Guluk-guluk Sumenep. Menyelesaikan studi Tadris Bahasa Inggris di STAIN Pamekasan. Cerpen-cerpennya dimuat di pelbagai media nasional dan lokal. Kumpulan cerpen terbarunya Celurit Hujan Panas (Gramedia Pustaka Utama, 2019).

Redaksi menerima cerpen. Tema bebas tidak SARA. Karya belum pernah tayang di media mana pun baik cetak, online, juga buku. Kirim karya ke editorcendana@gmail.com. Disediakan honorarium bagi karya yang ditayangkan.

Lihat juga...