Ajal Tanah Campoan

CERPEN ZAINUL MUTTAQIN

Taroman hanya tersenyum menanggapi itu semua. Laki-laki paruh baya itu sama sekali tak tertarik meninggalkan kampung kelahirannya.

Taroman memilih bertani. Ia menolak mentah-mentah ajakan tetangganya. Satu alasan yang mengakar dalam dada Taroman ialah tak ingin sawah-sawah yang memang produktif menghasilkan padi itu jadi tanah tandus.

Para tetangga yang membujuk Taroman itu hanya bisa mengelus dada. Taroman teguh pendirian, tak mempan diiming-imingi apa pun.

Taroman masih mematung di pinggiran sawah dengan memegang perutnya yang mengempis. Lapar sudah dirasakannya sejak sepuluh menit yang lalu. Istrinya belum juga datang.

Taroman bangkit, berdiri di dekat sapinya sambil mengelus-elus hewan piaraannya itu. Ia beruntung, sapi yang digunakan untuk membajak sawahnya adalah miliknya sendiri.

Ia hendak mencangkul tabun atau pinggiran sawah, istrinya sudah datang dari utara. Berjalan meniti pinggiran sawah perempuan yang dinikahi Taroman dua puluh tahun silam itu tersenyum tipis,

Taroman melihat istrinya datang membawa makanan. Ia langsung duduk di tabun sawah, mencuci tangan dan istrinya segera melayani Taroman.

Taroman lahap sekali makan nasi jagung, ikan asin dan kuah kelor. Aroma tanah sawah menguar ke udara diterbangkan angin. Tubuh Taroman berlumuran lumpur sawah. Bau keringat tubuhnya menembus bajunya. Selesai makan, Taroman menyulut rokok. Asapnya menari-nari di atas kepalanya.

Markona, istri Taroman itu, tidak langsung pulang. Ia membantu Taroman mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakannya sebagai seorang perempuan. Walaupun begitu, Markona terbilang lihai mencangkul untuk ukuran perempuan paruh baya seperti dia.

Lihat juga...