Lelah melingkar di wajah mereka. Kurang lebih sepuluh menit, mereka baru tiba di rumah berupa bangunan yang sudah tampak kusam.
Taroman memasukkan sapi ke dalam kandang. Istrinya bergegas ke kamar mandi. Lalu keduanya salat berjamaah. Markona menuju dapur, menanak nasi untuk makan siang. Ia mengambil beras yang disimpannya di dalam kelmo atau gentong berukuran besar.
Diciumnya terlebih dulu beras berwarna seputih susu, seharum pandan sebelum akhirnya dimasukkan ke dalam sobluk atau dandang.
“Beras hasil panen sendiri jauh lebih harum ketimbang beli di toko ya Bang?” Markona memandang suaminya yang tengah duduk santai di dapur. Ia mengangguk disertai senyum tipis. Kemudian Taroman meneguk kopinya dengan cara teramat santun.
Sebelum Taroman menikah dengan Markona, laki-laki paruh baya itu memang sudah jadi petani. Semula ia hanya seorang buruh tani. Sehari-hari bekerja di sawah milik Haji Ismail.
Ia membajak sawah-sawah Haji Ismail dengan cara manual, pakai sapi. Taroman mengumpulkan uang hasil kerja kerasnya untuk melamar Markona.
Bertahun-tahun kemudian, Taroman terpaksa menganggur. Ia tidak lagi bekerja di sawah Haji Ismail. Taroman melihat Haji Ismail membeli traktor. Dengan alat canggih itu Haji Ismail bisa membajak sawahnya dengan cepat.
Taroman memendam amarah dalam dadanya. Kebencian itu muncul lantaran mesin pembajak yang dibeli Haji Ismail itu.
“Dengan alat ini, bajak sawah jadi lebih cepat. Selain itu, aku bisa mengoperasikan sendiri. Jadi, aku tidak butuh kamu lagi,” kata Haji Ismail kala itu kepada Taroman.
Taroman menyaksikan Haji Ismail menggunakan traktor itu untuk membajak sawah. Dalam waktu singkat, semua pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik. Tanah terbajak dengan sangat baik, sementara Haji Ismail hanya duduk santai di sadel belakang.