Bapak Pulang dari Malaysia

CERPEN NURILLAH ACHMAD

TIGA hari lalu, dari ujung pagar, Yu Jum berlari-lari menemui Mamak yang sedang memetik terong di belakang dapur. Napasnya tersengal-sengal.

Mamak menatapnya kebingungan. Bagi kami—anak dan ibu yang hidup tanpa lelaki—Yu Jum tak ubahnya saudara kandung, meski ia tak memiliki darah semenda.

Agak lama Yu Jum menenangkan diri, sebelum akhirnya menyampaikan sebuah berita. Kang Karman, kata Yu Jum, akan pulang esok lusa.

Mamak terbelalak. Terong yang telah dipetiknya terjatuh dari genggaman. Bibirnya bergetar. Aku yang mengintip dari bilik dapur, tak tahu harus bersikap apa.

Selama ini, hanya sekali Mamak bercerita soal lelaki yang bernama Karman. Ketika itu, aku baru pulang dari sungai sembari sesegukan. Mamak lantas menarik lengan dan mengajakku duduk di pangkuan.

Tangisku belum reda kala Mamak bertanya apa yang terjadi. Terbata-bata aku menjawab, kalau aku dibully Oni dan teman-teman yang lain perihal sosok Bapak. Kata Oni, Bapak seorang pengecut. Dan pengecut berarti bencong.

Mamak mengelus-elus kepalaku sebelum akhirnya bercerita kalau Bapak sebetulnya berada di Malaysia. Sewaktu aku berusia lima tahun, Bapak terpaksa menyeberang sebab ekonomi keluarga benar-benar lumpuh.

Satu-satunya ladang warisan dari kakek, terpaksa digadaikan, dan sampai sekarang belum ditebus jua. Meski begitu, kata Mamak, sebetulnya ada alasan paling mendesak mengapa bapakmu pergi meninggalkan kampung.

Ia dituduh membongkar makam Maryam yang mati bersama bayi yang dikandung, dan jemari bayi itu raib dijadikan jimat bandit.

“Padahal bukan Bapak yang mencuri?”

“Bapakmu difitnah pencuri jemari bayi itu sendiri.”

Gemetar aku membayangkan apa yang terjadi pada malam itu. Tentu dibandingkan aku, Mamak-lah yang paling menderita. Dari cerita yang ia sampaikan, aku paham mengapa Mamak lebih memilih hidup menyendiri di bawah gumuk ini.

Lihat juga...