Ajal Tanah Campoan

CERPEN ZAINUL MUTTAQIN

TAROMAN sedang membajak sawahnya. Ia duduk di tuas belakang sapi sebagai pemberat agar mata bajak bisa lebih dalam menghunjam tanah.

Langit menuangkan air dalam jutaan meter kubik per detik sejak tujuh hari yang lalu. Laki-laki paruh baya itu mengendalikan arah sepasang sapi yang mengelilingi sepetak sawahnya. Keringat membasuh sekujur tubuh ringkihnya.

Setelah satu jam, Taroman duduk santai di pinggir sawah. Ia menunggu istrinya mengantar makanan. Tidak terbiasa Taroman sarapan pagi di rumah. Makanan selalu diantar ke sawah oleh istrinya.

Taroman selalu mengatakan kepada istrinya, makan di pinggir sawah terasa lebih nikmat sekaligus menambah selera makan.

Mata Taroman memandangi sawah-sawah yang sudah diabaikan pemiliknya. Tanah yang terbentang luas itu seperti akan segera menemui ajalnya. Mati tak terurus. Padahal, Taroman masih ingat sekitar sepuluh tahun lalu orang-orang datang ke sawah, membajak tanah, bercocok tanam bersama-sama.

Taroman bercengkerama dengan orang-orang di pinggir sawah kala itu. Taroman menggelengkan kepala mengingat itu semua.

Kening Taroman berkerut seperti garis terombang-ambing. Ia menarik napas dalam-dalam. Satu persatu warga kampung Campoan merantau ke Jakarta. Tidak lagi tertarik mereka menjadi petani. Berpanas-panasan di sawah dengan hasil panen yang tak seberapa membuat mereka meninggalkan kampung halaman.

Kebutuhan hidup terus bertambah. Itulah alasan, mengapa mereka memilih mengadu nasib di Jakarta ketimbang bertani di kampung.

“Kalau hanya mengandalkan hasil panen, tidak cukup. Kebutuhan semakin banyak. Harga-harga barang semakin naik,” kata Tarebung kepada Taroman suatu hari di pinggir sawah.

Lihat juga...