Ajal Tanah Campoan

CERPEN ZAINUL MUTTAQIN

Taroman mengakui istrinya memang pandai mencangkul. Tidak tahu dari mana perempuan itu belajar.
Semua itu bermula dari mencoba yang dilakukan Markona. Tidak tega Markona melihat suaminya bekerja sendiri di sawah.

Tak ingin berpangku tangan menyaksikan suaminya membajak sawah, akhirnya Markona mencoba mencangkul hingga akhirnya bisa dibilang mahir.

Hujan turun setiap hari. Suami istri itu akan menanam padi sebentar lagi. Dua petak sawah itu sudah mulai dibajak. Tinggal mereka yang tetap mengolah sawahnya di kampung Campoan.

Itulah satu-satunya cara mereka bertahan hidup. Hasil panen setiap musim disimpannya, dan dimakan sehari-hari. Mereka tak pernah beli beras.

“Kenapa orang-orang mulai tak mau bertani ya Bang?” Istrinya bertanya. Ia duduk di pinggiran sawah. Melegakan dadanya karena baru saja selesai mencangkul. Taroman masih membajak sawahnya.

“Mungkin, bertani tak lagi menjanjikan.”

“Coba saja banyak yang bertani, mereka tak perlu beli beras ya Bang.” Taroman hanya mengangguk.

“Jangankan orang lain, anak kita saja nggak mau jadi petani. Lebih suka jadi karyawan kantor. Nggak mau menginjakkan kaki di sawah.”

“Pertanda apa ini ya Bang?” Markona melihat ke arah suaminya.

“Kiamat.” Jawab Taroman singkat. Markona mengangkat kedua bahunya.

Gerimis jatuh satu per satu serupa helai-helai rambut yang diterbangkan angin. Suami istri itu tetap berada di sawah. Pekerjaannya harus segera selesai, mengingat mereka mesti menanam padi di musim penghujan ini. Taroman istirahat sejenak. Kasihan ia pada sapinya yang kelelahan.

Taroman pulang ke rumah setelah azan zuhur dikumandangkan. Ia menuntun sapinya melewati tabun sawah. Cangkul disanggulkan di pundak Taroman. Istrinya berjalan di belakang Taroman dengan membawa bakul nasi.

Lihat juga...