Ajal Tanah Campoan

CERPEN ZAINUL MUTTAQIN

“Syukuri saja.” Taroman coba menabahkan hati kawannya itu. Tarebung mendesah berat.

“Aku memang selalu bersyukur. Tapi apa aku harus ngutang terus untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga?” Tarebung memandang wajah Taroman. Keduanya terdiam. Berpikir dalam hatinya masing-masing.

Taroman tidak tahu harus berkata apa. Ia tahu, Tarebung hidup bergelantungan di garis kemiskinan yang sangat parah. Tarebung memiliki lima anak yang masih dalam tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga.

Kelima anaknya berada di bangku sekolah. Sementara anak Taroman bekerja sebagai karyawan swasta di kota.

“Aku harus mengubah nasib,” tegas Tarebung. Taroman mengernyitkan dahi.

“Maksudmu?”

“Aku mau merantau ke Jakarta.” Tarebung tegas bicara.

“Bagaimana dengan sawahmu?” Pertanyaan dari Taroman tidak langsung dijawab oleh Tarebung. Ia terdiam sesaat sambil lalu memandangi sawah miliknya.

“Biarkan saja. Mungkin akan aku jual kalau ada yang mau beli.” Taroman kaget mendengar perkataan kawannya itu.

“Dijual?” Taroman bertanya, nadanya ditekan. Tarebung mengangguk pelan.

“Aku nggak mau jadi petani lagi.” Tarebung membuang asap rokoknya dengan kesal. Taroman tidak bertanya lagi. Ia membiarkan Tarebung menelan kekecewaannya sendiri.

Lambat laun warga kampung Campoan mengikuti jejak Tarebung. Mereka berbondong-bondong mengadu nasib di Jakarta. Hal itu terjadi semata-mata karena cerita yang dilontarkan Tarebung bahwa laki-laki paruh baya itu tidak lagi kesusahan.

Menurut cerita yang beredar, Tarebung sukses. Ia bekerja sebagai penjaga toko sembako.

Ketika orang-orang meninggalkan kampung Campoan, Taroman ditawari bekerja di Jakarta. Orang-orang datang kepadanya, mengatakan bahwa hidup di Jakarta lebih enak ketimbang jadi petani di kampung.

Lihat juga...