PAGI-pagi pukul delapan, Witri berupaya membangunkan Uman —suami— yang masih saja tidur lelap. Mulanya dengan panggilan-panggilan lembut, namun tidak mempan.
Lalu dengan panggilan-panggilan cukup keras, tetapi tetap saja gagal. Witri pun menggoyang-goyangkan tubuh Uman hingga bangun.
Tetapi Uman malah berkata, “Aku masih mengantuk.”
Witri menjadi benar-benar jengkel, membentak, “Ini sudah siang! Ayam saja sudah bangun sedari subuh!”
Uman membalas, “Apa katamu? Ayam?”
“Iya, pokoknya bangun! Kau sih siang malam main gaple terus.”
“Huh!” Akhirnya Uman dengan terpaksa bangkit dari pembaringan. Segera ke belakang rumah, menuju kamar mandi darurat yang sekelilingnya bertiang bambu, ditutupi baliho bekas.
Hanya ada air seember besar di sana, yang ditimba dari sumur yang sudah dalam. Uman tergesa-gesa mencuci mukanya, lalu kembali ke kamar. Saat dilihatnya Witri sedang duduk menerawang di pinggir kasur, Uman ketus bertanya, “Ada apa lagi?”
“Kang, kita hidup tidak cukup hanya dengan makan. Kita juga harus tinggal di rumah yang layak. Mereka para tetangga selalu ngomongin keadaan rumah. Apa kita tidak malu?”
Uman hanya cengengesan seraya menggaruk-garuk kepala, lalu ngeloyor ke teras depan, langsung berjongkok, menyalakan rokok. Witri mengikuti, mengajak, “Ayo ke Pancuran Tujuh. Mencuci pakaian.” Uman cepat menggeleng.
Akhirnya seperti kemarin-kemarin, Witri pergi bersama anak perempuannya yang berumur tiga tahun. Keduanya menyusuri sepanjang jalan kecil depan rumah sampai buntu —berciri pos kamling RW —kemudian melewati tanah milik tetangga-tetangga, lalu jalan setapak yang curam, hingga sampailah di Pancuran Tujuh.