Rumah yang Urung Rampung

CERPEN GANDI SUGANDI

Di sebelah kiri Pancuran Tujuh ada musala, tempat menunggu yang antre dan anak-anak kecil yang ikut serta.

Di atas pancuran ada bukit yang cukup tinggi, tertutup semak-semak dan rimbunan pohon —dan di sanalah ada beberapa mata air yang tak pernah kering— yang airnya ditampung bak panjang bertembok, yang mengalir ke tujuh batang bambu berjejer, sebagai awal mula sebutan Pancuran Tujuh.

Saat pagi dan sore hari orang-orang berdatangan. Tempat mencuci pakaian sekaligus pemandian umum ini tanpa sekat.

Sementara anak-anak laki-laki dan perempuan menjelang remaja yang datang, tentunya nanti akan bersama-sama orang dewasa mencuci dan mandi.

Bila sedang kebetulan, tua-muda pria dan wanita akan berdampingan, bercampur baur mencuci dan mandi bersama —seperti balita saja yang tidak punya malu.

Kebiasaan Witri, selalu paling lama berada di sini. Bukan karena begitu banyak cucian, tetapi karena sering melamun.

Saat Witri sedang mengucek-ngucek pakaian di ember dengan bertatapan kosong, seorang Ibu tetangga sekampung nyeletuk, “Witri? Sabarlah. Ya, kau menjadi seperti ini kukira karena keadaan rumahmu. Aku juga punya tempat tinggal tidak sekaligus jadi. Dari membangun pondasi sampai layak ditempati sampai dua tahun. Bahkan saudara-saudara pun membantu.” Ibu ini sudah tahu jalan pikiran Witri.

Witri tak hirau, mengambil satu cucian. Membersihkannya dengan guyuran dari air pancuran yang ketiga.

Witri sudah capai hati, setelah empat tahun menikah, perangai Uman masih tidak berubah. Yang hanya sekali-kali ke kota-kota besar mencari nafkah dengan menjadi pekerja kasar.

Itu pun kalau ada ajakan tetangga-tetangganya. Itu pun dengan kebiasaannya yang tidak baik, selalu lebih dahulu pulang meninggalkan teman-temannya yang belum selesai bekerja pada sebuah proyek.

Lihat juga...