Sedari kecil Witri sudah diajari ibunya tentang pekerjaan di sawah, khusus untuk perempuan seperti menanam padi, mencabut rumput atau menuai padi.
Di bawah terik matahari, mulai menyabit. Sementara anaknya menunggu di dangau. Seraya menebaskan celurit pada batang-batang padi, hati Witri terus menjerit.
Tak lama, terkumpullah satu tumpukan. Witri hendak beristirahat, menuju dangau, menemui anaknya—sekalian juga menunggu Uman.
Witri mengharapkannya datang untuk membantunya nanti, memukul-mukulkan batang-batang padi ke satu rangkaian bilah-bilah bambu agar bulir-bulir padinya terpisah dari batang.
Ah, lagi-lagi seperti yang lalu-lalu, suaminya tidak nongol juga. Witri kembali membatin. “Suami tak tahu diri. Segala sesuatu mesti aku yang melakukan. Berarti nanti membawa karung berisi padi pun, aku yang akan menggendongnya. Benar-benar kurang ajar.”
Kali ini sakit hati Witri karena kelakuan suami telah berada di puncaknya. Hasil pekerjaannya dibiarkan di sawah.
Dengan berderai air mata, pulang. Tidak peduli biar pun nantinya Uman akan marah karena pulang dengan tangan kosong —Witri telah kebal dengan kebiasaan kasar suaminya yang suka menampar pipinya.
Tiba di rumah langsung ke kamar. Mengurung diri. Benar-benar telah lelah hati. Bertahun-tahun mendengar gunjingan tetangga perihal rumahnya.
Rumah yang belum berpintu depan, meskipun berpintu belakang. Jendela-jendela ruang tamu dan ruang belakang masih kosong melompong tak berkaca —meskipun sudah berkusen.
Semua bagian dinding belum bercat, tampak jelas susunan batako warna abu berperekat adonan pasir dan semen.
Ruangan tamu pun masih berlantai pasir —serupa sungai yang kering. Sementara alat makan minum bertumpuk dalam beberapa baskom, dan perabotan memasak tergeletak begitu saja di dapur berlantai semen.