Padahal teman-temannya bisa berbulan-bulan bekerja. Bagi Uman, asalkan telah mendapat uang biar pun tidak banyak, sudah cukup.
Uman berprinsip, selama masih bisa merokok tidak perlu bekerja, lebih enak diam di rumah, tidak ditunjuk-tunjuk orang.
Seraya membersihkan cucian-cucian yang lain, Witri kembali teringat obrolan dengan Uman beberapa hari yang lalu.
“Uang tinggal sedikit, Kang. Kita butuh untuk keperluan sehari-hari. Kapan berangkat lagi ke kota?”
“Nanti, nunggu teman-temanku. Kalau pergi sendiri ke kota, emangnya langsung diajak kerja sama orang? Kan harus bertanya-tanya dulu? Bagaimana kalau tidak ada lowongan?”Jawaban Uman selalu seperti itu, membuat Witri membatin.
Sebenarnya, Witri dan Uman cukup beruntung, kebutuhan beras selalu terpenuhi. Hasil panen dari sawah sepetak kepunyaan Isah —ibu dari Witri— dapat mencukupi makan mereka. Malahan, bila sedang kepepet uang, beras pun biasa dijual ke tetangganya.
Menjelang matahari sepenggalah, Witri pun selesai mandi dan mencuci pakaian. Pulang.
Di depan pos kamling RW, Witri berhenti.
Ya, sudah rutin, telah tampak Uman sedang bermain gaple dengan teman-temannya. Witri berkata, “Kang, nanti jemput aku di sawah ya. Kau bawakan padi.”
Uman mengangguk tanpa menoleh — pandangannya terpaku pada kartu-kartu gaple yang bergeletakan di depannya.
Witri sudah bisa menduga jawaban dari Uman akan seperti ini. Lalu mengulangi berkata, “Nanti kau jemput aku di sawah ya.”
Kali ini, Uman menjawab, “Ya…” Witri pun berlalu.
Tiba di rumah, buru-buru menjemur pakaian. Kemudian dengan tergesa menuju sawah ibunya yang dekat aliran sungai —lagi-lagi anaknya dibawa.