Witri sekeluarga memang tinggal di rumah yang belum rampung, yang dibangun secara bertahap, telah menginjak pada tahun ketiga, dan uangnya dari Isah, yang menjadi TKI di satu negara.
Setiap malam, Witri sekeluarga tidur di kamar depan. Ruang ini telah berpintu, berjendela kaca, dinding berpelester, dan berlantai keramik putih. Ruang kamar ini untuk beristirahat, tentulah sengaja didahulukan sampai selesai.
Rumah yang ditinggali mereka berada di pinggir satu ruas jalan kecil yang bertembok, di banyak sudut sudah banyak yang terkelupas.
Nyatalah, dasarnya yang berupa tanah berdebu terlihat. Saat kemarau seperti saat ini, saat ada angin berembus, debu-debu terbawa terbang, singgah di teras rumah-rumah orang —tetapi, langsung masuk ke tengah rumah yang ditinggali Witri.
Nyaris setiap hari, bila ada orang yang melewati rumahnya, pastilah berhenti sejenak sembari celingak-celinguk memperhatikan keadaan. Seolah-olah, orang-orang itu mengolok-oloknya.
Sementara untuk kebutuhan dapur, tidak bisa tunda-tunda. Witri pun kerap kali meminjam uang ke saudara-saudaranya bahkan tetangga-tetangganya.
Namun lama-kelamaan, mereka bosan karena keseringan dipinjami. Sementara Uman tetap saja tidak bisa diandalkan.
Sedangkan Isah ibunya, sudah berhenti total mentransfer uang ke rekening Witri. Ini karena Isah pada akhirnya mendapat berita dari sesama TKI yang masih sekampung, bahwa rumah Witri tidak rampung-rampung dibangun.
Uang kiriman tersebut ternyata sebagian dipakai untuk kebutuhan sehari-hari keluarga Witri. Isah juga akhirnya tahu, bahwa menantunyalah yang paling banyak menghabiskan uang —untuk minum-minum mentraktir teman-temannya seraya bermain gaple.