Sepatu Bola

CERPEN MUHAMMAD SYUKRY

SERATUS empat puluh sembilan koma enam juta kilometer di atas sana, matahari pukul dua belas siang bersinar terik, menyepuh tubuh cekingmu yang hanya berbalut selembar baju kaus tipis dan celana lusuh. Pemberian seorang calon anggota dewan yang gagal menjabat.

Baju dan celana itu kini telah kuyup oleh keringat. Namun, kau tak hendak berhenti—tak mungkin berhenti. Sebab, dua setengah hektare lahan tidur di hadapanmu sudah harus selesai dilambuk sebelum malam menjelang.

Maka, dengan napas yang masih tersengal-sengal dan sekujur tubuh yang pegal-pegal, kau kembali menghunjamkan mata cangkul.
***
SEMUA berawal dari sebuah kejadian, yang menimpa putra semata wayangmu dua pekan lalu. Hari itu, pada jam yang belum seharusnya, putramu, Daimin, pulang dari sekolah dengan mata sembab dan isak tangis yang belum reda, istrimu yang tengah khusyuk menjahit kontan terkejut.

Lalu dengan satu kesadaran yang terlatih, menghentikan pekerjaannya. Mendekat dan berjongkok di depan si bocah, memegang kedua pundaknya, lalu lembut bertanya, “Kenapa, Sayang?”

Sebagai jawaban, bocah yang baru diterima masuk SD pada usia sembilan tahun itu kembali menangis sesenggukan.

“Sudah, sudah. Anak laki-laki tidak boleh cengeng,” selamu yang saat itu kebetulan sedang berada di rumah dan tengah bersiap hendak kembali bekerja.

Namun, belum setarik napas kau selesai berucap, istrimu sudah mendelik tajam ke arahmu. Jangan asal cakap! Kira-kira begitulah arti mata yang mendelik itu.

Kau salah tingkah, lalu undur diri ke luar rumah. Untuk kesekian kalinya, kau merutuk, bukan kepada istrimu, tetapi kepada dirimu sendiri karena tak kunjung pandai berkomunikasi dengan si bocah.

Lihat juga...