Pada saat hari Minggu tiba, Arman menaiki mobil karena harus membawa serta seluruh anggota keluarga. Sang istri duduk di muka di samping dirinya yang menyetir. Sedangkan anak-anaknya duduk di belakang saling bersendau gurau penuh keceriaan.
Sungguh Arman sangat mendambakan Herdi jadi kades Karanglo, yang memberikan kebahagiaan bagi keluarganya dan seluruh masyarakat Desa Karanglo.
Tiba-tiba pundak Arman ditepuk oleh seseorang, yang dengan demikian langsung membuyarkan lamunannya membayangkan hidup bahagia menikah dengan Marhamah.
“Wah Mas Bro Arman kok tidur!“ ucap Anto mengingatkan.
“Masa sih aku tidur?” Arman tak percaya.
“Iya, aku lihat begitu ndaru jatuh ke rumah Herdi kamu langsug tersenyum tampak begitu sangat senang tapi kemudian langsung tidur dan senyum-senyum terus dalam tidur,“ terang Anto memaparkan keadaan Arman sebenarnya memang ketiduran.
“Lalu bagaimana ndaru-nya, apakah masih di rumah Herdi?” bertanya Arman tampak kali ini sangat penasaran.
Anto tak menjawab, tapi hanya menggeleng saja.
“Ayo Mas Bro Anto bikin kopi lagi,” pinta Arman tampak langsung bangkit dan sangat bersemangat.
“Hah, bikin kopi lagi? Kamu kan sudah minum tiga cangkir,” Anto mengingatkan, “Ndak baik minum kopi banyak-banyak!”
“Ndak peduli minum kopi banyak-banyak ndak baik untuk kesehatan,“ Arman tampak keras kepala, dan kemudian melanjutkan bicaranya penuh semangat, “Aku ingin minum kopi lagi, kalau perlu seember kopi agar aku tidak ngantuk dan tetap bisa terjaga untuk tetap bisa mengamati ndaru itu.”
Anto kini tak bisa mengelak. Sebagai penjual kopi tentu dirinya sangat senang kalau ada orang yang terus-terusan minum kopi di kedai kopinya. Meski ia sangat khawatir pada diri Arman yang terlalu sangat bersemangat mengharapkan ndaru jatuh ke rumah Herdi.
***