Meski matanya sudah lima watt karena diserang rasa kantuk yang begitu sangat suntuk, tapi Arman berusaha sekuat tenaga untuk tetap terjaga dengan doping sampai tiga cangkir kopi hitam pahit.
Benar juga, beberapa saat kemudian, entah dari mana datangnya, tiba-tiba ndaru muncul di langit Desa Karanglo dan kemudian jatuh ke arah timur, yang itu berarti ke arah rumah Herdi, yang membuat Arman kemudian begitu senang bukan alang-kepalang.
Arman jadi membayangkan kalau Herdi menang dalam Pilkades Karanglo tentu desanya jadi maju. Karena ia tahu sekali Herdi yang paling pantas, pintar dan punya kemampuan untuk membangun desanya menjadi lebih baik.
Lebih jauh, Arman membayangkan dirinya sudah menikah dan punya anak dengan Marhamah, menikmati kemajuan desa. Tampak masyarakat desa merasakan kemakmuran. Seluruh infrastruktur desa ditata dengan teratur. Jalan-jalan pedesaan tidak lagi berbatu, tapi sudah halus dan beraspal.
Arman dapat menaiki sepeda onthel dengan tenang. Sementara mobilnya tetap terparkir di garasi dan hanya waktu-waktu tertentu saja dipakainya kalau memburu waktu dan benar-benar diperlukan untuk mengangkut semua anggota keluarga.
Sedangkan tiap hari berangkat kerja, ia bersama rekan-rekan kantornya cukup dengan mengayuh sepeda onthel. Hemat, berkeringat dan tentu saja menyehatkan.
Begitu juga dengan Mathamah tampak begitu senang menyirami tanaman tiap hari. Suasana rumah tampak asri, indah, dan berseri-seri. Ada pun anak-anak tampak begitu ceria bermain di halaman dengan udara pedesaan begitu sejuk, bersih dan segar.
Kesuksesan Herdi menjadi kades Karanglo dinikmati bukan hanya pada keluarganya saja, tapi juga seluruh masyarakat Karanglo yang merasakan kenyamanan, keamanan, dan ketenteraman.