Halte

CERPEN ALEX ROBERT NAINGGOLAN

(Senin)

IA menunggu. Seperti mencoba menerjemahkan sesuatu, pada waktu yang membeku. Masih saja sama. Barangkali, perempuan itu tak akan datang, tak akan menemuinya lagi.

Toh, ia tak perlu merasa kecewa lagi. Sudah terlalu lama peristiwa itu berlalu, menghempaskannya pada sebuah pusara yang teramat panjang. Bangku-bangku halte menunggu. Ia menghitung segala keluh, impian yang gugur. Siang yang teramat panas.

Baginya, kenangan itu seketika redup begitu saja. Ia masih saja ngungun sendiri. Menelantarkan segala sepi yang tiba-tiba menguap. Siang yang perih! Orang-orang berkerumun, memutar waktu, segala masa lalu yang lenyap tiba-tiba.

Penantian, mungkin suatu keadaan yang paling membosankan, setidaknya bagi dirinya. Dengan seketika pelepah waktu itu menyerpih, mengoyak pedih. Sudah teramat lama.

Di mana waktu? Apa batas waktu? Adakah selalu menguncinya perlahan, di sebuah ruang, semisal halte yang riuh ini.

Kendaraan datang dan pergi. Seperti juga orang-orang. Ia sudah paham, sudah sejak lama. Betapa ia telah merasa percuma dan sia-sia. Menunggu memang pekerjaan yang paling membosankan. Ia tak perlu lagi merasa bertanya: sudah berapa jam di sini? Satu jam? Dua jam? Atau berapa lama?

Waktu membisu. Dari Senin ke Senin. Seminggu. Waktu berhenti. Mendenyar di dada. Dahulu, ia tak begitu mempedulikannya, namun lama-kelamaan, terasa waktu begitu ia teramat kehilangan. Terutama untuk suatu yang bernama waktu.

Ia melihat orang-orang. Membuang keliaran pandang. Mengukir setiap kelabu yang terkadang jatuh luruh, satu-satu, mengendap di antara karat besi halte ini yang makin coklat dan meninggalkan aroma yang khas.

Lihat juga...