KOPI di cangkir sudah hampir habis. Ampasnya sudah terlihat, dan menempel di pinggiran dalam cangkir berwarna putih susu. Rokok yang ia isap, tinggal separuh. Sedari tadi, ia melamun di teras rumah, duduk di bale-bale. Tetangganya, menyetel musik dangdut, dan bersenandung sendiri.
“Biasanya tak pakai minyak wangi. Biasanya tak suka begitu. Saya cemburu, saya curiga. Takutnya ada main di sana. Solali lali, ola ola la…”
Angin pagi yang mendesis, mengempaskan abu rokok di dalam asbak. Rokok itu ia lumat ke dasar asbak. Baranya masih tersisa di asbak. Asapnya mengepul. Lantas, pantatnya ia angkat, dan beranjak ke dalam rumah. Saat melintasi kamar, ia menyingkap tirai pintu kamarnya. Ia mendapati istrinya yang sedang berdoa sehabis sembahyang duha.
“Ya Allah, berikan rezeki berlimpah kepada keluarga kami.”
Ia lantas mengambil handuk dari atas dipan kamarnya. Bergegas mandi. Anto, anak semata wayang mereka sedari kemarin masih merajuk. Anaknya yang baru berusia tujuh tahun itu merengek minta dibelikan mobil-mobilan remote control.
Ia berjalan melintasi anaknya yang duduk di kursi ruang tengah. Lalu, mengusap rambut anaknya itu.
“Sabar ya, Nak…” katanya pelan.
Sehabis mandi dan berpakaian, ia kemudian pamit kepada istrinya. Istrinya mencium tangan kanannya.
“Hati-hati di jalan, Pak,” kata istrinya.
Ia mencium kening istrinya, lalu mencium rambut anaknya yang masih cemberut itu. Pergi keluar rumah. Tak lupa memberikan salam.
***
SEHARI-HARI, pos parkir bercat krem yang di setiap sisinya dilapisi kaca bening berteralis itu menjadi ladangnya untuk mencari nafkah. Pos parkir itu letaknya persis di gerbang masuk Taman Raden Saleh. Sebuah tempat orang-orang berkesenian, berkuliah, dan menikmati segala acara seni dan budaya.