Konspirasi Kolonial Global Melengserkan Pak Harto

OLEH NOOR JOHAN NUH

Noor Johan Nuh (Foto: Istimewa)

Dalam percakapan terbatas saya dengan yang mengaku sebagai tokoh reformasi post factum Pak Harto berhenti sebagai Presiden, baru mereka siuman bahwa hal itu terjadi bukan karena demo mahasiswa yang bertubi-tubi, atau massa menduduki gedung parlemen.

Sebagai panglima berprestasi di berbagai “palagan”, adalah perkara mudah bagi Pak Harto mengosongkan gedung parlemen yang diduduki, atau menghentikan aksi-aksi pada waktu itu. Mereka baru menyadari bahwa Pak Harto berhenti karena terjadi krisis moneter, krisis ekonomi, krisis multi dimensi, tekanan massa hanya sekedar pelengkap.

Dua puluh tahun yang lalu, Presiden Soeharto dengan segala pertimbangan yang bijaksana, menyatakan berhenti sebagai presiden. Pernyataan berhenti sebagai presiden yang dilakukan Pak Harto pada 21 Mei 1998, tidak terlepas dari rangkaian krisis nilai tukar mata uang (bukan krisis moneter, bukan krisis ekonomi) yang berlangsung sejak Juli 1997, dimulai dari Thailand kemudian merambah ke Korea Selatan, Malaysia, Filipina dan Indonesia.

Menjadi pertanyaan adalah, di antara negara-negara yang terimbas “krisis nilai tukar mata uang” di Thailand, mengapa hanya perekonomian Indonesia yang mengalami dampak paling parah? Paling buruk. Mengapa “krisis nilai tukar mata uang” itu kemudian merambah ke berbagai krisis: “krisis moneter”, “krisis ekonomi”, hingga menjadi “krisis multidimensi” mencakup sektor politik, sosial, keamanan, sedangkan negara terimbas lainnya dapat mengatasi.

Padahal fundamental ekonomi dan stabilitas sosial-politik Indonesia jauh lebih baik dibanding Filipina atau Malaysia.

Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad mengatakan, bahwa krisis nilai tukar mata uang pada waktu itu adalah rekayasa dari lobi Yahudi yang bertujuan melemahkan perekonomian negara-negara berpenduduk mayoritas muslim di Timur Jauh (Asia Tenggara).

Lihat juga...