Konspirasi Kolonial Global Melengserkan Pak Harto

OLEH NOOR JOHAN NUH

Noor Johan Nuh (Foto: Istimewa)

Lebih tegas, Mahathir menuduh George Soros, sebagai agen lobi Yahudi yang dibekali dana bermiliar dolar untuk membeli mata uang negara berpenduduk mayoritas muslim di Timur Jauh (Malaysia dan Indonesia) menghancurkan sistem moneter dan sistem fiskal negara tersebut.

Menghadapi gempuran Soros, Malaysia memberlakukan kebijakan fiskal dengan mengaitkan kurs tetap Ringgit Malaysia terhadap Dollar Amerika (rezim devisa terkontrol) dan melarang transaksi Ringgit Malaysia di luar negara itu. Walaupun Ringgit Malaysia terdevaluasi hingga 30%, dengan kebijakan fiskal tersebut, Malaysia terhindar dari krisis multidimensi seperti yang dialami Indonesia.

Salah Menangani Krisis

Pada mulanya respon pemerintah Indonesia di awal krisis dianggap baik yaitu Bank Indonesia (BI) melakukan spread intervensi kurs sebesar 10% untuk menstabilkan rupiah. Prediksi ketika itu, Indonesia jauh lebih siap ketimbang Thailand atau Malaysia untuk bertahan dari “krisis nilai tukar mata uang” karena kesigapan pemerintah dan fundamental ekonomi Indonesia yang lebih baik dari Thailand atau Malaysia.

Namun, pada Agustus 1997, penasihat ekonomi presiden Wijoyo Nitisastro bersama Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad dan Gubernur Bank Indonesia Sudrajat Jiwandono, membuat keputusan dramatis kontraproduktif antara lain; pengalihan dana Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dari bank-bank komersial ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan menaikkan tingkat suku bunga SBI30% untuk satu bulan serta 28% untuk 3 bulan. Kebijakan ini makin menambah persepsi negatif pasar sehingga memicu pembelian dollar Amerika secara massif.

Sampai akhir tahun 1997 rupiah ditutup pada Rp. 4.650,- per dollar, terdepresiasi hampir 70%. Sangat disayangkan, tim ekonomi kepresidenan yang diketuai Wijoyo Nitisastro tidak melakukan kebijakan moneter seperti yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia.

Lihat juga...