Konspirasi Kolonial Global Melengserkan Pak Harto

OLEH NOOR JOHAN NUH

Noor Johan Nuh (Foto: Istimewa)

Kapasitas Wijoyo yang pernah dijuluki sebagai 10 ekonom terbaik di dunia karena pernah berhasil meredam spiral inflasi 650% di awal Orde Baru adalah bukti bahwa ia adalah ekonom yang handal. Menjadi pertanyaan, mengapa pada “krisis nilai tukar mata uang” pada 1997 ia seperti gagap dan gugup bertindak?

Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika berdampak negatif terhadap posisi neraca pembayaran karena utang luar negeri dalam dollar dibayar dengan rupiah. Dari total utang luar negeri per Maret 1998 sebesar US$ 138 miliar, sekitar US$ 72,5 miliar adalah utang swasta yang dua pertiganya utang jangka pendek, sedangkan utang pemerintah US$ 65,5 miliar. (Bandingkan dengan utang Indonesia pada akhir November 2017 mencapai US$ 344 miliar {CNN INDONESIA}.

Dampak dari kurs rupiah terjun bebas, ratusan perusahaan mulai dari skala kecil hingga konglomerat berguguran. Akibatnya, terjadi pemutusan hubungan kerja dan hamper semua harga kebutuhan pokok yang tidak ada hubungannya dengan dollar (cabai, petai, jengkol, singkong) pun ikut naik melambung tinggi hingga jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan meningkat tajam mencapai sekitar 50% pendapatan per kapita US$ 1.155 pada tahun 1996, turun menjadi US$ 610 per kapita pada 1998.

IMF Memperparah Krisis

Dengan maksud mengembalikan kepercayan pasar dan menstabilkan nilai rupiah yang terpuruk, pada 8 Oktober 1997, pemerintah mengumumkan akan meminta bantuan The International Monetary Fund (IMF). Pak Harto sebenarnya keberatan atas kehendak mengundang IMF, namun kuatnya desakan para penasehat ekonomi presiden, pada 31 Oktober 1997, ditandatangani Nota Kesepakatan (Letter of Intent/LoI) pertama dengan IMF oleh Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad dan Gubernur BI Sudrajat Jiwandono dalam bentuk “Memorandum on Economis and Financial Policies.”

Lihat juga...