Akibatnya, hak prerogatif Presiden “tersandera” oleh kepentingan parpol koalisi pemerintah. Presiden tidak lagi mandiri dan independen dalam membuat kebijakan. Meskipun terdapat kekurangan dalam implementasinya, sistem pemerintahan presidensil pasca amandemen UUD 1945 tetap menjadi pilihan yang ideal dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
Keberadaan GBHN pada masa Orde Baru memiliki peran penting dan strategis. Sebab Presiden sebagai mandataris MPR harus menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan amanat GBHN. Jika tidak sesuai atau melanggar GBHN, maka secara konstitusional MPR dapat memberhentikan Presiden. Akan tetapi semenjak Orde Reformasi, eksistensi GBHN dihilangkan. Sebagai gantinya, yaitu Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). RPJPN menjadi acuan selama 20 tahun sebagaimana dituangkan dalam UU No. 17 Tahun 2007, sebagai amanat dari Pasal 13 ayat (1) UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
RPJPN menjadi acuan dari rencana pembangunan lima tahunan yang disebut dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dokumen perencanaan pembangunan dalam RPJMN merupakan kewenangan bersama antara DPR RI dan Presiden.
Gagasan re-eksistensi GBHN akan berimplikasi terhadap sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Setidaknya hubungan antara MPR dan Presiden. Di mana keduanya adalah lembaga negara yang sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat. Kedudukan di antara keduanya adalah sederajat atau sama-sama kuat. Artinya, di antara kedua lembaga negara tersebut tidak boleh saling intervensi. Apalagi mengintervensi kewenangan yang dimiliki oleh Presiden (Mahfud MD., 1993).