Penguatan DPD RI dan Re-Eksistensi GBHN

OLEH: YASSIR ARAFAT

Penguatan DPD RI secara kelembagaan dapat dilakukan dengan cara, pertama, memperjelas sistem parlemen kita sebagai bicameral system dalam wadah NKRI. Kedua, melibatkan DPD RI dalam pengisian jabatan publik. Sehingga pengisian jabatan publik, juga perlu mendapat persetujuan bersama antara DPR RI dan DPD RI. Mengingat, jabatan tersebut diamanatkan oleh UUD 1945 dan Undang-Undang. Ketiga, optimalisasi fungsi pengawasan DPD RI. Artinya, tidak sekadar mengawasi pelaksanaan undang-undang secara formal, tetapi juga secara materiil (subtansial). Terutama yang menyangkut kebijakan pemerintah yang berkaitan langsung dengan hajat hidup rakyat.

Re-Eksistensi GBHN

Pasca amandemen UUD 1945  sistem pemerintahan presidensil menjadi lebih tegas, murni dan konsisten. Dikatakan konsisten, karena Presiden menurut UUD NRI 1945 sebelum amandemen, harus tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Di samping itu, sebagai mandataris MPR, Presiden dalam menjalankan program pembangunan nasional harus sesuai dengan GBHN. Sebab, sewaktu-waktu mandat tersebut dapat ditarik kembali oleh MPR. Sifat pertanggungjawaban kepada MPR yang seperti ini memperlihatkan adanya unsur parlementer dalam sistem pemerintahan presidensil (Jimly Asshiddiqie, 2006).

Akan tetapi, di sisi lain pelaksanaan sistem pemerintahan presidensil memiliki kendala. Hal ini disebabkan adanya konstruksi politik multi partai. Penerapan sistem multi partai berimplikasi pada tingkat pelembagaan kepartaian yang rendah dan kekuatan politik di parlemen cenderung “terfragmentasi”.

Kondisi ini semakin menegaskan, bahwa antara teori dan praktik tidak harus koheren. Sehingga penyusunan kabinet cenderung diwarnai oleh konsensus politik “kompromi” dan “akomodatif”. Tujuannya agar Presiden memperoleh dukungan mayoritas dari parlemen untuk merealisasikan programnya.

Lihat juga...