Penguatan DPD RI dan Re-Eksistensi GBHN

OLEH: YASSIR ARAFAT

Perbedaan latar belakang dan tujuan bicameral system menentukan besarnya kewenangan yang dimiliki, cara pemilihan anggota, pengambilan keputusan di kamar ke dua. Tetapi, esensi dari bicameral system pada umumnya sebagai mekanisme checks and balances antar kamar di parlemen. Namun, fungsi checks and balances secara horizontal hanya bisa berjalan jika ke dua kamar memiliki kewenangan yang sama, setidak-tidaknya dalam fungsi legislasi.

Pertimbangan dibentuknya DPD RI, pertama, untuk membangun sebuah mekanisme kontrol dan keseimbangan (cheks and balance) antar cabang kekuasaan negara. Kehadiran DPD RI diharapkan dapat menjembatani aspirasi daerah dalam lembaga legislatif. Kedua, memperkuat hubungan ikatan daerah dengan pusat dalam wadah NKRI. Harapannya, DPD RI dapat berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan politik di tingkat nasional untuk kepentingan daerah. Agar kebijakan pemerintah pusat dapat bersinergi dengan pemerintah daerah.

Secara konstitusional, keberadaan DPD RI diatur dalam Pasal 2 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan MPR terdiri dari anggota DPR RI dan anggota DPD RI. Kedua lembaga perwakilan tersebut, sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Sehingga legitimasi DPD RI sama kuatnya dengan DPR RI.

Peran strategis DPD RI, tidak diimbangi dengan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi. Bahkan dalam melaksanakan tugas dan fungsi yang berkaitan dengan otonomi daerah sangat lemah. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945 setelah amandemen. DPD RI memiliki kewenangan yang limitatif, yakni: a). Dapat mengajukan kepada DPR RI RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; b). Ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; c). Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah. Demikian pula yang dituangkan dalam UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD 3, bargaining position DPD RI sub-ordinasi dari DPR RI.

Lihat juga...