Dari ketentuan Pasal 22 C dan 22 D UUD 1945 dan UU tentang MD3, dapat disimpulkan kewenangan yang dimiliki DPD RI, sebagai berikut: a. Kewenangan legislasi yang limitatif. Hal ini disebabkan karena DPD RI hanya berhak mengajukan RUU berkaitan dengan daerah dan membahas RUU bersama DPR; b. Kewenangan dalam memberikan pertimbangan terhadap suatu RUU tertentu dan memberikan pertimbangan dalam pemilihan anggota BPK; c. Kewenangan pengawasan. Mengawasi pelaksanaan undang-undang tertentu.
DPD RI dikontruksi sebagai lembaga perwakilan yang kewenangannya telah “dibatasi” oleh DPR RI. Mulai dari penyusunan undang-undang, penyusunan anggaran dan mekanisme pemberhentian Presiden. Bahkan dalam uji kelayakan dan kepatutan terhadap lembaga negara yang lain (seperti KPU, KPK, KY dan lembaga independen yang lainnya), DPD RI tidak dilibatkan. Dapat dikatakan bahwa kewenangan konstitusional DPD RI tidak sejajar dengan DPR RI. Perannya sangat terbatas jika dibandingkan dengan DPR RI. Sehingga dapat disimpulkan, keberadaan DPD RI hanya sebagai “pelengkap”.
UUD 1945 hasil amandemen ke-IV masih banyak menyimpan problematika teoritis dan yuridis. Secara teoritis, belum adanya kesetaraan kedudukan antara DPD RI dan DPR RI sebagai lembaga perwakilan. Secara konstitutional, kewenangan DPD RI masih bersifat limitatif. Sehingga sudah menjadi keharusan untuk memperkuat keberadaan DPD RI melalui amandemen UUD 1945 ke-V. Hal ini sangat dimungkinkan, mengingat ketentuan pasal 37 ayat 1 UUD 1945.
Usul tersebut dapat dilandasi dengan pertimbangan bahwa: a) DPD RI memiliki legitimasi yang kuat karena dipilih secara langsung oleh rakyat; b) Memiliki peran yang strategis untuk mewujudkan otonomi daerah dan penguatan demokrasi dalam bingkai NKRI; c) Hasil amandemen UUD 1945 ke-IV terlalu menitikberatkan pada DPR RI heavy. Hal ini dapat dilihat dari kewenangan DPR RI mendapat porsi lebih besar dalam bidang pengawasan. Akibatnya kekuasaan DPR RI tidak dapat dikontrol oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya.