Habisnya energi fosil dunia, konsekuensinya akan terjadi kelangkaan energi dan menimbulkan krisis ekonomi, tingginya biaya transportasi, perebutan hasil pertanian, perang sumber daya, matinya nilai-nilai kemanusiaan, dan masyarakat kembali ke pola hidup tradisional. Ilmuwan Antony Day, misalnya, berpandangan bahwa turunnya produksi minyak dunia bukan saja mengurangi mobilitas manusia, tapi mengubah secara drastis gaya hidup dan model bisnis.
Melihat fakta bahwa energi fosil tidak diperbaharui, saat ini banyak pakar dan akademisi di seluruh dunia berusaha untuk menciptakan energi baru sebagai pengganti energi fosil. Berdasarkan berbagai temuan ilmiah, salah satu energi baru yang dapat diciptakan adalah energi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau lebih dikenal dengan dengan energi hayati. Kecenderungan peningkatan penggunaan bio energi ini pada tahun 2007–2008 telah memicu krisis harga pangan dunia yang meningkat sangat tajam hingga 75 persen. Hal in diakibatkan antara lain karena pengalihan lahan pangan menjadi bio energi.
Sebagai contoh sederhana pada pertengahan 2015, krisis pangan dan kekurangan obat-obatan di Venezuela juga telah menyebabkan masalah sosial dan kriminal bagi negara tetangganya akibat 35 ribu warga Venezuela menyeberang ke Kolumbia dalam waktu 12 jam untuk mendapat makanan. Yang sangat mencemaskan adalah potensi konflik akibat krisis pangan. Kelangkaan pangan ini telah menimbulkan dampak mengerikan bagi dunia. Hal ini senada dengan data UNICEF yang mencatat adanya satu orang meninggal dunia setiap 2,1 detik atau hampir 15 juta anak setiap tahun karena kemiskinan, kelaparan, dan kesehatan yang buruk. Jika tahun 2014 penduduk dunia telah mencapai 7,3 miliar dan dengan penambahan kebutuhan energi dunia sebesar 41 persen pada tahun 2035, energi fosil dunia diperkirakan akan habis pada tahun 2043. Satu-satunya harapan yang tersisa adalah pemanfaatan energi hayati sebagai energi penggerak peradaban manusia.