Ancaman Perang Dunia Akibat Proxy War Social Media

Potensi Proxy War di Indonesia Dipicu Rebutan Energi

Dalam menyikapi proxy war, orang yang paling awal melontarkan bahaya Proxy War adalah Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo. Dalam artikel karyanya yang dimuat di Jawa Pos pada 29 Maret 2014, ketika masih menjabat Pangkostrad, Jenderal Gatot Nurmantyo menjelaskan, bertambah pesatnya populasi penduduk dunia yang tidak diimbangi dengan ketersediaan pangan, air bersih, dan energi akan menjadi pemicu munculnya konflik-konflik baru. Indonesia sebagai salah satu negara ekuator yang memiliki potensi vegetasi sepanjang tahun akan menjadi arena persaingan kepentingan nasional berbagai negara. Untuk itu, diperlukan langkah antisipasi agar keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia terjaga.

Konflik-konflik di belahan dunia terjadi akibat persaingan kepentingan antarnegara untuk menguasai sumber energi. Salah satu contohnya, invasi Iraq ke Kuwait pada 2 Agustus 1990 merupakan jalan pintas untuk memulihkan ekonomi Iraq akibat turunnya harga minyak di pasaran internasional. Amerika Serikat mengkhawatirkan situasi itu akan menggoyang harga minyak dunia dan mengganggu pasokan minyak ke negaranya. Dengan berbagai dalih, akhirnya Amerika melakukan invasi ke Iraq dengan operasi militer yang dikenal dengan Operasi Badai Gurun (Dessert Storm).

Pada 2013, British Petroleum (BP) mengeluarkan sebuah laporan yang menyatakan bahwa sisa energi fosil dunia tinggal sekitar 40 tahun, sedangkan sisa energi fosil di Indonesia tinggal 16 tahun. Sehingga energi dunia akan habis pada 2053 dan Indonesia pada 2029 dengan asumsi bahwa kebutuhan energi dunia tidak meningkat. Padahal, BP pada awal tahun ini memperkirakan bahwa konsumsi energi dunia pada 2035 meningkat sampai 41 persen dari kebutuhan hari ini.

Lihat juga...