Tin de Vrij dari Jepara

Aku juga melihat tulisan lengkap puisi Aku dari Chairil Anwar dalam bahasa Indonesia di dinding sebuah bangunan. Kabarnya ada juga Serat Kalatidha dari Ronggowarsito ditulis di dinding bangunan.

Aku juga baru tahu, ternyata ada juga orang Indonesia yang menjadi pahlawan bagi Belanda. Kami sempat melihat makam Irawan Soejono, seorang mahasiswa Indonesia di Leiden yang terbunuh karena membantu perjuangan Belanda melawan Nazi Jerman tahun 1940-1945. Irawan meninggal ditembak polisi rahasia Nazi. Atas jasanya, Irawan diberi gelar pahlawan oleh Kerajaan Belanda dan namanya diabadikan sebagai nama jalan di kota Osdorp, Amsterdam.

Aku kembali ke Indonesia dan lama tak berhubungan dengan Nigel serta Tin. Sampai aku pensiun di Yogya lima tahun kemudian. Tiba-tiba Tin mengontak bahwa dia sudah di Indonesia dan ingin bertemu. Dia mengunjungi beberapa anak asuhnya di Jepara. Kaget juga aku. Dia yang sekolah sekedarnya, hidup di Belanda dan masih peduli mempunyai anak asuh orang Indonesia? Apa keinginannya? Sedang aku yang alumni universitas ternama, tinggal di Yogya sudah punya berapa anak asuh? Hanya sesekali saja menyumbang anak asuh. Itupun iuran bersama untuk program beasiswa. Hanya segitu dipublikasikan gencar melalui media sosial lengkap dengan foto-foto. Tin dengan berbuat begitu tanpa sedikitpun mempublikasikan. Dia biasa saja, seolah hal seperti itu biasa dilakukan.

Angin sepoi-sepoi berhembus menyapa wajahku. Aku termenung. Di sebuah resto di Bukit Bintang, Wonosari, aku juga pernah menemani Nigel dan Tin. Merasakan nasi merah dan sayur lodeh ditambah cemilan walang goreng yang rasanya gurih. Nigel tak habis pikir, belalang yang menjadi hama tanaman bisa diolah menjadi makanan enak dan laku dijual. Orang Indonesia kreatif, puji Nigel.

Lihat juga...