Lalu aku dikenalkan dengan anak Tin dari suami sebelumnya. Tin sudah berubah. Penampilannya sudah lain. Dia seperti wanita modern. Dia bekerja di sebuah supermarket dan sudah bisa berbahasa Belanda. Dia terampil menyetir mobil. Tin yang mengantar kami keliling kota Geleen. Benar-benar tak menyangka. Anaknya juga keren penampilannya. Sudah berbicara cas cis cus bahasa Belanda dengan teman-temannya kuliah.
Ternyata Tin bukan hanya membawa seorang anak. Dia juga membawa beberapa keponakan. Dia sudah dapat menolong orang Indonesia bekerja di Belanda dan menghasilkan devisa. Sosoknya bisa berubah dari zero menjadi mendekati hero. Siapa sangka dari seorang pembantu rumah tangga yang nyambi wanita nakal dapat berubah drastis. Melihat sosok Tin yang perkasa, tiba-tiba aku ingat Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer. Aku ingat nama Sanikem, anak dari Sastrotomo, seorang juru tulis Pabrik Gula Tulangan, Sidoarjo yang dipersembahkan bapaknya pada administratur pabrik itu, Tuan Herman Mellema, supaya Sastrotomo dapat naik jabatan menjadi juru bayar. Sanikem awalnya menangis dan tak mau dijadikan nyai. Tetapi karena didikan Tuan Mellema dan juga kesadaran baru, Sanikem berubah menjadi Nyai Ontosoroh yang bisa berbahasa Belanda dan dapat memimpin sebuah usaha firma pertanian terpadu, Boerderij Buitenzorg. Waktu dan kesempatan dapat mengubah seseorang.
Tin dan Nigel pun pernah mengajakku jalan-jalan ke Leiden. “Leiden banyak menyimpan kepingan sejarah Indonesia,” kata Tin.
Kami masuk perpustakaan Universitas Leiden yang terdapat ratusan surat Kartini dan lukisan-lukisannya. Tin senang sekali bisa menunjukkan peninggalan karya orang sedaerahnya. Matanya berbinar dan dia tak henti-hentinya membanggakan Kartini. Kami mengunjungi Museum Volkenkunde di Leiden, yang menyimpan koleksi barang-barang sejarah, seni dan kerajinan dari Indonesia. Ada patung-patung peninggalan kerajaan di Indonesia. Ada patung Anusapati, Patung Ganesha, berbagai keris dan prasasti. Kami juga melihat bangunan di Jalan Noordeinde No.32, tak jauh dari Universitas Leiden. Rumah tempat lahir organisasi Perhimpunan Indonesia dan Hatta pernah aktif di situ.