Kompleksitas ini menjadi semakin nyata ketika sawit dikembangkan di Papua. Wilayah ini memiliki potensi lahan amat besar. Secara administratif, izin perkebunan sawit di wilayah ini mencapai lebih 2 juta hektar. Akan tetapi realisasi tanamnya jauh lebih kecil.
Di tengah keterbatasan pilihan ekonomi, sawit menawarkan peluang pendapatan konkret bagi masyarakat adat melalui skema plasma, sewa hak ulayat, dan kesempatan kerja formal.
Secara ekonomi, kehadiran sawit di Papua berpotensi menciptakan arus pendapatan rutin bagi pemilik tanah adat. Sesuatu yang sangat signifikan dalam konteks ekonomi subsisten. Dalam teori pembangunan regional, masuknya investasi padat karya seperti sawit dapat mempercepat integrasi wilayah tertinggal ke dalam ekonomi nasional.
Pengalaman di wilayah lain menunjukkan satu perkebunan sawit dapat memicu terbentuknya ekosistem ekonomi lokal: pasar, transportasi, jasa, dan infrastruktur dasar.
Masalahnya, Papua menyimpan sekitar sepertiga hutan primer tersisa di Indonesia. Tingkat keanekaragaman hayatinya sangat tinggi dan penting bagi ekologis global. Pembukaan hutan di Papua memiliki dampak ekologis jauh lebih sensitif dibandingkan wilayah yang telah lama terdegradasi.
Tanah Papua memiliki dimensi sosial dan kultural yang kuat. Jika tata kelola lemah, keuntungan ekonomi sawit berisiko tidak terdistribusi secara adil. Sementara biaya ekologis dan sosial justru ditanggung oleh masyarakat adat.
Inilah dilema pembangunan yang sesungguhnya. Menolak sawit sepenuhnya berarti menutup peluang ekonomi yang secara statistik terbukti mampu mengangkat pendapatan masyarakat. Membuka sawit tanpa kendali berarti mempertaruhkan hutan terakhir Indonesia dan stabilitas sosial jangka panjang.