Sosialisme yang Membumi, Demokrasi yang Diperjuangkan
OLEH YULIANTORO
Di sebuah ruang literasi di Kaliurang, kaki Gunung Merapi, gagasan lama terasa kembali muda.
Pembacaan ulang Sosial Demokrasi karya almarhum Imam Yudotomo bukan sekadar agenda bedah buku, melainkan upaya menautkan kembali ideologi dengan kenyataan sosial hari ini.
Di tengah krisis ekologis, ketimpangan ekonomi, dan demokrasi prosedural yang makin hampa, pikiran Imam justru terasa menggigit – ‘ideologi bukan hiasan wacana, melainkan kompas hidup’.
Diskusi yang dimoderatori Ons Untoro mempertemukan dua latar berbeda—Ahmad Taufan Damanik dan Abidin Fikri—namun berpijak pada satu simpul – “kekaguman pada konsistensi Imam Yudotomo.”
Bagi Taufan, Imam adalah guru yang mencintai generasi muda, menanamkan sosialisme sebagai etika pembebasan. Anti-penindasan, anti-penjajahan, dan berpihak pada keadilan serta demokrasi.
“Sebelum jadi sosialis, harus Marxis,” ujar Imam suatu ketika—sebuah pernyataan yang menegaskan pentingnya kerangka analitis, tanpa terjebak pada dogmatisme.
Marxisme, dalam pandangan Imam, bukanlah kitab suci yang beku. Ia menjadi alat baca realitas. Karena itu, perspektif sosialis harus sejalan dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Di titik ini, pemikiran Imam beririsan dengan tradisi sosial-demokrasi modern yang menempatkan kebebasan sipil dan keadilan sosial sebagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan (Meyer, 2003).
Pendidikan politik rakyat menjadi prasyarat mutlak. Demokrasi tak lahir dari prosedur semata, tetapi dari warga yang sadar dan kritis.
Abidin Fikri menambahkan dimensi praksis dari sosok Imam. Egaliter, tak pernah “dijajah” oleh pemikiran sendiri, Imam menghidupkan gagasannya lewat gerakan demonstrasi, pendampingan sosial, hingga penguatan basis rakyat.