Soeharto Pahlawan, Aktivis 98 Jadi “Penjahat”?

Kedua: eks‑aktivis 98 dalam dinamika kekuasaan korup.

Banyak eks‑aktivis berlomba masuk jabatan publik, legislatif, dan lembaga strategis. Masuknya mereka ke sistem politik pragmatis membuka peluang praktik yang kontradiktif dengan nilai reformasi. Mereka tenggelam dalam budaya korup. Fenomena ini sesuai dengan teori political co‑optation: gerakan sosial yang diserap budaya kekuasaan akhirnya kehilangan idealisme.

UU perampasan asset tidak memperoleh pembelaan memadai. Politik dinasti dijustifikasi melalui berbagai argumentasi untuk sekedar bertahaan dalam lingkar kekuasaan. Akibatnya, kredibilitas publik terhadap eks‑aktivis 98 menurun.

Ketiga: Ketidakkonsistenan idealisme — dari “anti‑KKN” ke “kenyamanan kekuasaan”.

Banyak mantan aktivis 98 menuntut demokrasi dan transparansi, tetapi tidak konsisten dalam praktik kekuasaan. Mereka duduk nyaman dalam struktur kekuasaan yang sarat praktik KKN. Fenomena ini dijelaskan oleh path dependence, di mana institusi lama meninggalkan jejak struktural sulit diubah, serta korupsi struktural. Peluang kekuasaan besar meredam idealisme dan menumbuhkan praktik oportunistik.

Kekecewaan publik terhadap reformasi sebagian besar berasal dari perilaku mantan aktivis 98 itu sendiri, yang terlibat dalam kesemrawutan politik, ekonomi, dan hukum pasca‑reformasi.

Penilaian negatif terhadap aktivis 98 bukan karena pemberian gelar Pahlawan terhadap Presiden Soeharto. Akan tetapi karena perilaku mereka sendiri dalam lingkar kekuasaan. Mereka yang dahulu menentang apa yang dinarasikannya sebagi “penjahat” bisa menciptakan versi penjahat baru melalui praktik politik dan ekonomi.