Pertama: aktivis 98 dalam lingkar kekuasaan dan liberalisasi ekonomi.
Banyak eks‑aktivis 98 memasuki lingkar kekuasaan reformasi. Mereka diam atau bahkan menyetujui kebijakan liberalisasi yang merugikan negara.
UU dan kebijakan ekonomi yang mempermudah penetrasi modal asing tetap dilanjutkan. Termasuk revisi UU yang menguntungkan investor asing. Sementara Presiden Soeharto secara gencar disudutkan sebagai pembuka kran investsi asing. Padahal UU PMA ditandangani Presiden Soekarno.
Aset negara, seperti saham mayoritas di BUMN strategis dialihkan dengan pertanggungjawaban publik minim. Termasuk penjualan asset-aset strategis seperti Indosat.
Konglomerasi perkebunan rakyat seperti sawit berlangsung tanpa kontrol. Penguasaan ekonomi oleh segelintir elit. Dahulu yang oleh Presiden Soeharto ditetapkan sebagai zona ekonomi rakyat seperti peternakan, kini justru dibiarkan dikusai konglomerasi.
Kasus konkret: SKL BLBI. Audit BPK menyebut kerugian negara dalam penerbitan SKL obligor BDNI mencapai Rp 4,58 triliun. Total kerugian BLBI diperkirakan lebih dari Rp 109 triliun.
Tahun 2024, realisasi FDI tercatat Rp 900,2 triliun (+21%). Menunjukkan skala liberalisasi modal asing yang signifikan. Aktivis 98 yang berada dalam pemerintahan tidak bersuara atau justru menikmati liberalisasi ini.
Fenomena ini sejalan dengan teori elite capture: kelompok idealis yang masuk lingkar kekuasaan akhirnya menyesuaikan diri dengan logika elit lama — kontrol oleh modal, pasar, dan kekuasaan (political co‑optation). Struktur politik dan ekonomi yang diwariskan oleh rezim sebelumnya sulit diubah (path dependence / institutional inertia). Dalam sistem dengan peluang kekuasaan dan modal besar, idealisme rentan teredam (corruption structural).