Gaza dan Tiga Peran Presiden Prabowo

Hasilnya terlihat:

Prancis – Inggris, mulai menunjukkan sikap lebih terbuka terhadap pengakuan Palestina. Amerika Serikat, di bawah tekanan publik dan opini internasional, menyatakan kesediaan menjadi mediator. Untuk menghentikan operasi militer Israel di Gaza. Israel mulai terkucil.

Pidato Presiden Prabowo menggeser opini global: dari apatisme menuju empati. Membuka kembali perdebatan moral yang lama terkubur di balik alasan keamanan.

Kedua, Dekonstruksi Tribalisme Negara-Negara Islam: Menyatukan Suara Timur Tengah.

Konflik Gaza juga tersandera fragmentasi dunia Islam. Banyak negara Arab beda kepentingan. Berselisih satu sama lain dalam merespons isu Palestina. Prabowo mengkritik terbuka dalam forum D-8 dan G8. Menurutnya  “negara-negara Islam tidak boleh terpecah dalam membela keadilan bagi Palestina.”

Seruan itu bukan retorika. Presiden Prabowo melakukan diplomasi shuttle ke Timur Tengah. Berkunjung ke Yordania, Mesir, dan Qatar. Menjajaki koordinasi kemanusiaan dan perdamaian.

Konferensi di Amman (Kemhan.go.id, Juni 2024), Prabowo menegaskan:

Kemerdekaan Palestina adalah solusi nyata bagi perdamaian Gaza. Dunia Islam harus bersatu mendukung ini.”

Hasilnya tampak. Kali ini, sejumlah negara yang sebelumnya sering berseberangan — seperti Arab Saudi, Turki, dan Iran — memilih menahan diri. Membuka ruang komunikasi. Tidak ada lagi negara Islam yang terang-terangan menentang proses gencatan senjata.

Ketiga, Dekonstruksi Ideologi Hegemoni dan Paham Nihilisasi

Konflik Gaza bukan sekadar politik. Melainkan juga benturan ideologi: hegemoni dan nihilisme eksistensial. Israel menafsirkan keamanan dengan dominasi penuh: “Israel Raya” meniadakan eksistensi Palestina. Sebaliknya, sebagian faksi di Hamas mengusung pandangan nihilistik: “tidak ada Israel, harus dihapus dari peta.” Kedua ekstrem ini menutup ruang damai.

Lihat juga...