Kebun Kopi

CERPEN MAHAN JAMIL HUDANI

Ya, kau pasti hanya membayangkan hal yang indah tentang kopi, karena yang kau nikmati dan lihat adalah para pemuda dan pemudi yang menghabiskan waktu menikmati kopi di kafe dengan harga mahal.

Kau tahu, segelas kopi yang mereka minum itu harganya bisa sama seperti dua atau tiga kilogram biji kopi yang ayahku jual di kampung sana.

Kau juga pasti tak pernah membayangkan kalau ayah, ibu, dan kakak-kakakku harus bergulat dengan semut baik semut hitam atau rangrang, tawon, nyamuk, bahkan kadang ular dan babi hutan di kebun.

Ahhh…betapa sengsara dan pedihnya jika kau melihatnya.
***
AKU dilahirkan di perkebunan kopi. Rumah orangtuaku berbentuk panggung setinggi lebih dua meter dengan dinding terbuat dari bilah-bilah bambu yang tentu saja menyisakan banyak celah pada pembatasnya.

Untuk menutupi itu, ayah dan ibuku menggunakan koran-koran bekas yang ia beli saat mereka berbelanja kebutuhan seperti minyak goreng, gula, garam, dan lainnya di pasar kecamatan yang jaraknya belasan kilometer dari rumah kami.

Soal sayuran dan cabai, ibu cukup memetiknya dari kebun. Atap rumah dari seng, jika hari sedang panas akan terasa sekali dan aku lebih suka menghabiskan waktu di belakang rumah, berteduh dengan menggelar tikar atau terpal di bawah rerimbunan pepohonan.

Jika hari hujan, suara cucuran hujan dari langit akan terdengar kencang sekali. Aku sudah terbiasa dengan hal seperti itu.

Di bawah rumah ada kolong yang ayah jadikan lumbung untuk menyimpan alat-alat pertanian seperti cangkul, koret atau pancong, sabit, golok, juga peralatan untuk menjemur padi seperti terpal, garuk, seng, dan masih banyak lagi.

Lihat juga...