Kebun Kopi

CERPEN MAHAN JAMIL HUDANI

Oh ya, ayah menyimpan kopi basah yang baru dipetik atau kopi kering yang telah selesai dijemur juga di situ.

Bahkan kayu bakar dari potongan-potongan pohon kopi juga ditaruh di lumbung tersebut, bersama buah-buahan seperti pisang, nangka, kedondong, pepaya, mangga, duren, jambu air, jambu batu, dan sirsak yang sering ayah bawa dari kebun. Soal buah, tak usah khawatir, di kebunku kau tinggal hanya petik kalau ingin.

Hampir semua rumah di kampungku berbentuk panggung. Anak tangganya terbuat dari kayu atau papan. Kami tak perlu membeli karena kayu dan papan tersebut berasal dari pohon-pohon besar yang kami tanam sebagai selingan atau tumpang sari di kebun kopi kami sendiri.

Kami hanya perlu memanggil dan membayar Pak Katno, seorang penebang yang memiliki gergaji mesin yang kami sebut senso – baru di kemudian hari aku tahu jika gergaji itu bernama chain saw – yang akan menebang dan menggergaji pohon-pohon tersebut menjadi kayu dan papan.

Jarak satu rumah dengan lainnya agak berjauhan. Di sekitar rumah kami hanya perkebunan kopi kecuali di depan rumah, karena setiap rumah memiliki halaman yang cukup luas untuk menjemur kopi.

Rumah kami tak memiliki kamar mandi atau toilet. Kami biasa mandi dan buang air besar di kali kecil yang airnya begitu jernih. Ada pancuran-pancuran dari bilah bambu untuk mengguyur atau berwudu.

Jika ada penghuni rumah yang ingin buang hajat pada malam hari misalnya, ada juga jamban di belakang rumah namun jarang kami pakai karena kami lebih senang pergi ke sungai.

Aku sejak kecil – walau agak malas – cukup sering juga ikut ke kebun karena sudah terbiasa melihat ayah dan ibuku ke sana.

Lihat juga...