Kebun Kopi

CERPEN MAHAN JAMIL HUDANI

Kau lahir dari keluarga yang broken home. Itulah mengapa kau senang bisa kuliah di kota ini, karena kau bisa tenang dengan kehidupan sendiri, meski jauh di lubuk hatimu kau selalu ingat dan merasa iba akan ibumu di kota asalmu sana.
***
SETELAH lulus kuliah, kita sama-sama menjalani kehidupan kita masing-masing. Suatu hal yang sama-sama tak pernah kita duga dan harapkan adalah bahwa kehidupan kita ternyata tak seindah yang sering kita bayangkan.

Kita sama-sama menjalani kehidupan kita dengan pahit. Begitu juga kehidupan rumah tangga. Bahtera rumah tangga kita masing-masing berjalan seperti roda gerobak milik Kang Slamet yang pernah kuceritakan padamu – seret, penuh gemuruh, juga penuh kotoran tanah dari jalanan yang basah tanpa pernah kering meski musim penghujan telah habis – tetap berjalan walau sarat dengan beban dan kita sama-sama hampir kelelahan dan tak kuat lagi.

“Jika aku jadi kau…Ko, aku akan pulang ke kampung halaman, menjadi petani kopi.” Katamu berulang kali.

“Tha, orangtuaku mengirimku sekolah dan kuliah ke kota dulu, hanya karena mereka tak ingin aku menjadi petani kopi yang hidupnya penuh dengan kesengsaraan.”

“Dengan ilmu dan pengetahuan yang kau miliki, kau tentu bisa menjadi petani kopi plus, banyak hal bisa kau perbuat di sana,” katamu lagi.

“Aku belum paham maksudmu, Tha. Justru aku yakin bisa lebih sukses di sini, pada suatu ketika. Masa pahit ini akan aku lewati.”

“Ternyata pemikiranmu masih konvensional, padahal kau telah menyandang gelar sarjana dan dianggap pandai oleh keluargamu, dan kampungmu kini telah menjadi modern. Aliran listrik dan infrastruktur telah cukup lengkap,” katamu singkat. Dan aku akan berhenti melanjutkan pembicaraan tentang ini.

Lihat juga...