Seperti yang sudah kuceritakan sebelumnya, betapa susahnya mereka, karena begitu banyak semut dan nyamuk yang menggigit saat mereka membersihkan rumput-rumput yang tumbuh di bawah pohon kopi dengan koret atau pancong.
Saat panen tiba, orangtuaku memanggul sendiri karung-karung biji kopi tersebut, kadang dibantu kakak. Begitu juga saat menjemur kopi, panas menyengat yang mereka rasakan.
Dan kau tahu, harga kopi di kampungku selalu murah, karena para cukong banyak berkuasa di sana, belum lagi lintah darat yang mencekik di saat paceklik.
Ah sudahlah, tentang hal ini aku tak perlu ceritakan padamu lagi, karena tentu kau sudah berulang kali mendengarnya.
***
ITULAH kenapa setelah lulus SD di kampung, ayah dan ibu mengirimku sekolah di pulau seberang, tinggal bersama kakek dan nenek. Ayah dan ibu ingin aku menjadi seorang sarjana yang bekerja kantoran di kota.
“Ko, Kau harus sekolah yang tinggi dan bekerja kantoran. Jangan menjadi petani kopi seperti ayah dan ibu, juga kakak-kakakmu, agar hidupmu tak sengsara.” Itu yang sering menjadi harapan ayah dan ibu.
Selulus SMP dan SMA, ayah dan ibu bertekat keras agar aku bisa melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Aku harus bersyukur bisa kuliah di kota yang merupakan tujuan pedidikan di negeri ini.
Aku lalu bertemu denganmu, dan kau akan sering bertanya tentang kebun kopi. Beberapa tahun kita berteman dekat namun kita tak pernah menjadi sepasang kekasih.
Kita sibuk dan senang dengan impian kita masing-masing. Aku sering bercerita tentang kebun kopi karena kau sering sekali memintaku menceritakannya. Kau sering bercerita juga tentang kehidupan keluargamu yang tak harmonis.