TIGA hari ke depan akan menjadi hari-hari penuh kegelisahan bagi Madi. Waktu pembayaran uang sewa kontrakan yang ditempatinya bersama istri dan dua anaknya bakal jatuh tempo.
Bukan hanya itu, Madi juga mesti membayar tunggakan uang sewa bulan lalu yang belum ia bayarkan. Belum lagi istri dan anak-anaknya yang terus-menerus merengek tanpa mau peduli betapa Madi sedang di ambang batas keputusasaan.
Jelas saja sekelumit kenyataan itu membuat kepala Madi ingin pecah. Ia merasa pikirannya buntu dan tiap kali melangkah yang ia temui hanyalah dinding-dinding besi.
Satu hari sebelum waktu pembayaran kontrakan bulan lalu tiba, Madi pulang ke rumahnya dengan raut gembira. Ia membawa tas besar dan kantong plastik berisi hadiah dan makanan.
Feni menyambut kepulangan sang suami dengan semangat dan cekatan. Selain rasa rindu yang meluap-luap setelah tiga minggu tak berjumpa Madi, Feni menjadi lebih bertenaga ketimbang biasanya karena melihat ada yang menonjol di balik saku celana jins suaminya.
Ia menyeduh segelas kopi dan meletakkannya di atas meja kecil di ruang tamu dengan gerakan seorang pelayan hotel bintang lima. Ia melemparkan senyum paling manis kepada Madi, memeluknya, dan mencium bibir Madi yang kering.
“Silakan diminum, Mas. Kamu pasti sangat lelah dan merindukan kopi buatanku,” ujar Feni dengan senyum menggoda.
Madi menyeruput kopi yang masih menguapkan asap tipis. Wajahnya semringah. Ia menyanjung kopi buatan Feni sebagai kopi terlezat yang pernah ada di dunia.
Faktanya, Madi tidak pernah pergi ke luar kota tempatnya tinggal melainkan satu kali saja, yaitu tiga minggu lalu saat ia terpaksa mengikuti ajakan Manto Darman untuk kerja di kota B, lantaran di kotanya sendiri ia tak kunjung memperoleh pekerjaan.