“Aku ingin sekali punya kebun kopi sendiri di kampungmu sana. Selain aku ingin merasa tenang hidup di kampung dengan anak-anakku, itu juga sebagai obat luka masa muda dan masa kita kuliah.”
Aku benar-benar tak ingin melanjutkan pembicaraan tentang itu lagi dengan Artha. Sudah terlalu banyak beban dan penat di pikiranku.
***
TERNYATA tak mudah untuk tidak memikirkan kalimat-kalimatmu. Kini itu selalu mengusik pikiranku. Aku selalu mencari dan menghubungkan satu sama lain peristiwa-peristiwa dalam kehidupanku.
Kau memang memiliki tempat yang khusus di hatiku yang pada faktanya tak bisa aku ungkapkan. Aku selalu pendam dari siapa pun. Hidup kita memang tak pernah bisa lepas dari kopi, ya hidup kita seperti warna dan aroma kopi.
Aku kembali memikirkan cerita yang sering kukatakan padamu bahwa ayah dan ibuku tak ingin aku menjadi petani kopi karena mereka tak ingin hidupku sengsara.
Kota dan kehidupan, juga pekerjaan kantoran, justru telah membuat hidupku pekat seperti kopi. Aku telah mengalami kepahitan yang luar biasa.
Pikiranku diselimuti bayangan kopi yang hitam, para cukong yang berkuasa membeli murah kopi para petani, para renternir yang meminjamkan uang dengan bunga yang mencekik pada masa paceklik yang membuat para petani tak pernah bisa hidup sejahtera padahal mereka punya kebun yang cukup luas.
Artha, kau benar, pemikiranku masih konvensional. Banyak hal telah berubah dan menjadi modern, begitu juga kampungku, walau masih menyisakan ketenangan dan keheningan.
Adalah hal aneh jika hidup mereka para petani kampungku masih sepahit kopi hitam yang pekat. Kini aku paham kalimatmu, Tha.