“Tidak boleh. Aku tak mau kalian menyentuh rumah ini!” teriak Yu Sri lantang. Aku dan istriku tak mampu meluluhkan hatinya.
Esok harinya Yu Sri berbuat di luar akal sehat. Ia memagari rumahnya dengan tali rafia melintang tak beraturan, seolah membuat batas agar orang lain tak masuk ke wilayah rumahnya.
Ia juga meracau tak jelas maksudnya. Aku yang begitu mengkhawatirkannya, memutuskan untuk mengisolasi Yu Sri.
Sekalipun ia meronta tak mau dipindah, dibantu dengan beberapa orang tetangga, aku membawa Yu Sri ke salah satu kamar dalam rumahku.
Nurmala dan Asnan bersedia menemani ibunya tinggal sementara di rumahku. Akhirnya, perbaikan tabon dilaksanakan, walau tak mendapat persetujuan dari Yu Sri.
Namun sesuatu yang tak kuperhitungakan sejak mula ternyata terjadi. Setelah perbaikan tabon selesai, Yu Sri seperti tidak mengenali rumahnya lagi.
Ia tampak kebingungan. Walau masih bisa berkomunikasi dengan baik, emosinya tidak stabil. Tanpa diduga ia bisa marah, tertawa, atau pun menangis.
***
TIBA-tiba saja, Kang Agus pulang dari rantau. Namun, bukan kebahagiaan seperti yang diharapkan, justru nestapa yang dialami Yu Sri.
Suaminya itu kembali ke desa ini menjadi sosok yang lain, jauh berbeda dengan yang kukenal dahulu. Kang Agus yang biasa saja, bahkan terkesan tidak peduli dengan soal-soal keagamaan, kini berubah menjadi ahli agama dengan penampilan baru.
Dalam banyak kesempatan, ia sering bersinggungan dan berbeda pendapat dengan Kaji Daud dan tokoh agama lainnya. Kang Agus beranggapan tradisi keagamaan turun temurun di desa ini tidak sesuai dengan tuntunan agama yang benar.
Bukan perubahan itu sebenarnya yang diratapi Yu Sri, tetapi kepulangan Kang Agus bukan hanya seorang diri. Di perantauan, ternyata ia telah membina keluarga baru.