“Bu, Rini yang nanti malam mau pulang. Ingin memberi kejutan buat Ibu,” katanya pelan.
“Tidak apa Ibu yang lebih dulu ke sini. Ibu sudah kangen dengan anak dan cucu Ibu,” kata Ibu sambil melihat-lihat sekeliling rumah.
“Ibu bahagia kamu sudah bisa membeli rumah, membeli mobil,” kata Ibu saat menemani Arini meneruskan menyusun pepes ikan di presto.
“Ah, rumahnya juga kecil dan belum direnovasi, Bu. Mobilnya juga bekas.”
“Ibu ini semakin tua. Semakin banyak merenung. Bagi orang yang semakin tua seperti Ibu, ternyata harta itu semakin berkurang artinya. Dulu iya, punya banyak harta itu menenangkan dan membanggakan. Tapi sekarang tidak lagi. Ada lagi yang lebih menenangkan dan membanggakan selain itu.”
Arini tidak tahu ke arah mana Ibu akan bicara. Tangannya tetap fokus pada pepes ikan yang disusunnya.
“Kamu yang benar waktu itu, Rin. Tidak benar mencari rezeki dengan menghalalkan segala cara,” kata Ibu lagi.
“Seandainya menurut saran Ibu dulu, mungkin kamu tidak akan sebangga sekarang. Kamu merasa bangga dengan sikapmu. Ibu pun sangat bangga dengan kamu. Kamu anak Ibu yang paling segalanya. Maafkan Ibu, ya.”
Arini terpana melihat tangan Ibu diulurkan kepadanya.
“Ibu ikhlas meminta maaf kepadamu. Karena kamu yang benar. Kamu yang hebat.”
Tapi bukan tangan Ibu yang diraih Arini. Kaki Ibu yang dipeluk Arini sambil menangis.
“Arini yang mesti dimaafkan, Bu….” Suaranya berbaur dengan isak tangis. ***
Yus R. Ismail, menulis cerpen, novel dan puisi, dalam bahasa Indonesia dan Sunda. Buku terbarunya In The Small Hours of The Night terjemahan C.W. Watson (Lontar, 2019). Novel Tragedi Buah Apel terpilih sebagai Pemenang Pertama Lomba Novel Anak penerbit Indiva 2019. Sekarang tinggal di kampung Rancakalong, Jawa Barat.