“Jangan sok bersih! Harus realistis hidup ini. Apa kamu betah sering nelepon sama Ibu, minjam untuk bayar ini bayar itu, nyatanya belum pernah kamu bayar. Ibu tahu kamu minta uang hanya untuk membeli beras. Dari tiga anak Ibu, hanya kamu yang hidupnya mengkhawatirkan!”
Arini tidak sadar menangis. “Ibu tega…! Ibu sudah menyakiti hati Rini,” katanya di sela isaknya.
“Karena kamu bodoh! Pikiranmu itu dangkal!” Napas Ibu masih turun naik cepat. “Kamu pikir, suami Nisa tidak keluar uang untuk jadi polisi? Ratusan juta rupiah habis untuk ngurusnya. Kamu pikir si Suta tetangga kita itu tidak keluar uang untuk jadi pegawai pemda? Seratus juta lebih orang tuanya habis. Tapi sekarang hidup mereka senang, tidak ngontrak rumah seperti kamu, tidak minta-minta seperti kamu.”
“Bu, cukup!” Arini tidak sadar membentak. “Jangan bandingkan Rini dengan siapa pun. Setiap orang punya pegangan hidup. Pantas saja negara ini penuh koruptor, karena penduduknya seperti Ibu! Rini berjanji tidak akan meminta lagi kepada Ibu!”
Ibu terkejut mendengar suara anaknya begitu tinggi. Baru sekali itu Arini membentak seperti itu. Ibu masuk ke kamar. Dari sudut matanya ada air yang meleleh. Besoknya setelah salat Subuh, Ibu pulang. Arini masih ingat apa yang dikatakan Ibu waktu itu.
“Ibu tidak rela kamu pulang sebelum pikiranmu itu berubah!” kata Ibu sebelum pergi. Arini terpana mendengarnya.
Tapi setelah Ibu jauh dibawa becak ke kegelapan Subuh, Arini menangis. Suaranya yang keras membangunkan Irman yang kebingungan, karena semalam dia ngojek, jadi tidak tahu apa yang terjadi.
***
SEPULUH tahun sejak peristiwa itu Arini tidak pulang. Tidak pernah menelepon mengabarkan sesuatu, apalagi meminjam uang seperti biasanya bila kepepet tidak punya beras dan jajan buat Putri.