Sebagai seorang sarjana, lamaran kerjanya belum mendapat tempat yang memadai di perusahaan yang mapan.
Arini sendiri sebagai ahli gizi lulusan D3, sudah melamar ke mana-mana. Ada rumah sakit yang menerimanya, tapi jauh di seberang pulau. Arini dan Irman sudah sepakat untuk bertahan di sini.
Di kota kabupaten ini ke orang tua Irman dan ke orang tua Arini tidak terlalu jauh, hanya beda kota saja.
Suatu saat ada tes CPNS yang kelima kalinya. Saat itu Arini ikut dengan harapan dan perasaan yang biasa saja.
Suatu sore datang seorang tamu yang mengaku utusan panitia CPNS, atau dia mengaku salah seorang panitianya sendiri, Arini tidak begitu ingat.
“Dik Arini ini hasil tesnya bagus. Masuk lima besar terbaik. Waktu yang genting itu sekarang, beberapa hari sebelum pengumuman,” kata orang itu.
“Bapak hanya ingin mengabarkan, Dik Arini ini bisa masuk formasi lulus. Tapi harus dijaga jangan sampai ada yang menyalip. Ya, sekedar terima kasih kepada panitia tertentu yang membantu menjaga. Besarnya cukup 20 juta rupiah. Biar Bapak yang urus-urus siapa yang mesti dikasih. Uang itu pun nanti saja kasihnya setelah ada pengumuman. Besok paling terakhir ditunggu kabarnya.”
Masalahnya, waktu itu Ibu ada di rumah. Malamnya terjadi pertengkaran. Ibu tetap berkeras, ambil kesempatan yang langka itu. Uang dua puluh juta rupiah itu tidak besar dibanding gaji dan keleluasaan menjadi PNS.
“Kamu harus tahu, Rin, tarif untuk menjadi PNS lewat jalan belakang sekarang ini tidak murah. Harga dua ratus juta itu belum tips penghubungnya. PNS zaman sekarang ini berbeda dengan zaman kakekmu dulu,” kata Ibu memulai.
“Dulu bila tidak jadi pejabat ya sengsara. Tapi sekarang, pegawai paling rendah saja sudah terjamin kehidupan sehari-harinya, terjamin masa pensiunnya. Jual motormu, biar kurangnya Ibu yang pinjamin. Atau bilang sama orang tua Irman, pasti ngasih juga.”