“Tapi saya sudah sepakat dengan Kang Irman, Bu. Kita ikut tes CPNS, bersyukur kalau lulus, tapi tidak dengan menyogok serupiah pun,” komentar Arini sambil memangku Putri, anaknya yang baru empat tahun, yang tertidur di kursi, lalu membawanya ke kamar. Tapi begitu keluar dari kamar, Ibu sudah menghadang lagi.
“Itu kan bukan sogokan, Rin. Hanya terima kasih saja sudah menjaga nilai tes kamu tidak ada yang menggeser. Sogokan itu bila kita memberinya duluan, besarnya pun mencapai ratusan juta rupiah sekarang ini.”
“Itu kan hanya istilah, Bu.”
“Kamu itu pintar ya, tapi bodoh!”
“Bu, kok bilang seperti itu?”
“Ya, kamu tuh sejak kecil selalu dapat rangking bagus di sekolah. Kuliah pun nilai kamu bagus. Kamu itu anak Ibu yang paling pintar. Tapi kok ngeyel, ya! Memangnya kamu sudah berpikir, dari mana kamu akan dapat uang untuk membeli rumah, menyekolahkan Putri, membiayai hidup sehari-hari yang semakin susah ini?”
“Rezeki kan bisa didapat dari mana saja, Bu. Kang Irman ngojek setiap hari. Kadang saya dapat pesenan membuat pepes ikan, risoles, bakwan, kue-kue basar, dari tetangga. Tuhan yang mengatur rejeki, tugas kita hanya berusaha.”
“Tapi itu tidak cukup!” Ibu terlihat marah. Napasnya ditahan, turun naik cepat. “Kalau dari ngojek suamimu cukup, tidak mungkin kamu ngontrak rumah butut dan kecil seperti ini. Tidak mungkin isi rumahmu seperti ini. Rumah tangga macam apa tidak punya mesin cuci. Nyuci pakai tangan itu perlu tenaga besar. Zaman sekarang ini mesin cuci bukan benda mahal. Tapi kalian tidak sanggup membelinya!”
“Bu!” Arini tidak sadar seperti berteriak. “Kenapa Ibu bicara seperti itu? Ibu tega…!”